Siapa mampu mengacuhkan senja.
Lengkap dengan debur ombak yang membisik mesra, pasir putih yang berkeredap
tercium semburat jingga senja, menyelimuti kaki-kaki kecil yang berjalan
menyusuri sepanjang bibir pantai. Angin pantai dengan bau amis nya membisikkan
kesenduan, dan karang-karang yang bersimfoni di hantam lembut nya ombak.
Senja yang sinarnya
kejingga-jinggaan, kemerah-merahan dan keemas-emasan menjadikan air laut
memantul berwarna keemasan. Senja yang sempurna.
Orang-orang bahkan harus rela
meninggalkan keluarga nya, suami meninggalkan istrinya, dan istri meninggalkan
suaminya sekadar untuk mengabadikan senja sempurna tersebut. Tidak, bukan
dengan menggunakan kamera, karena orang-orang takkan sempat, terlalu terpesona
pada satu senja.
Sepasang kekasih mengaitkan
jari-jemari sambil memadu kasih, dilihatnya senja itu sambil duduk-duduk di
bibir pantai. Diliatnya senja yang sempurna itu, hingga ia mulai turun, cahaya
nya yang merah membara, perlahan semakin redup, menyisakan siluet perahu
nelayan di kejauhan dan hilang ditelan cakrawala.
“Alina tercinta.”
“Bersama surat ini kukirimkan padamu
sepotong senja-dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya
keemasan.”
Dan cerita klasik itu pun dimulai.
Tentang kesenduan, romantisisme hingga lirisisme yang dibalut dengan embel-embel
cinta.
‘Senja yang kumaksud, adalah senja
dalam berbagai pendekatan dan konteks tetap berusaha saya capai kesenjaannya,
mulai dari gejala alam kasat mata, sampai segenap konstruksi struktural dan
tematik yang dimungkinkan oleh subjek bernama senja.’ Tulis Seno Gumira
Ajidarma dalam bukunya yang diberi judul dengan manisnya Sepotong Senja Untuk Pacarku.
Ia ingin menguraikan senja dengan
kompleksitas dan paradoksalnya melalui cerita-cerita yang terpisah satu sama
lain, membangun ceritanya sendiri-sendiri namun tetap terhubung dan saling
terkait, seperti potongan Pizza ia memaknainya.
Secara eksplisit, tentu berlebihan
jika sekedar melihat senja di representasikan hanya sekedar cerita cinta yang
sendu dan rayuan nafsu yang picisan.
Dalam trilogi Alina, khususnya pada
cerita Sepotong Senja untuk Pacarku,
dipertontonkan bagaimana keserakahan, dan kepongahan dari seorang Sukab, yang
hendak memiliki seutuhnya senja, dengan cara memotong nya, untuk kemudian ia
simpan dalam amplop. Ia ingin mengabadikan senja dengan gemerlap warna
keemasannya.
Namun dalam cerita Jawaban Alina, ia mengajarkan bahwa
keikhlasan untuk menerima Senja yang luber dari amplop, dengan segala bencana
yang ditimbulkannya. ‘Kupandang senja yang abadi sebelum melipat surat ini.
Betapapun semua ini terjadi karena cinta dan hanya karena cinta – betapa besar
bencana telah ditimbulkannya ketika kata-kata tak cukup menampungnya. Kutatap
senja itu, masih selalu begitu, seperti menjanjikan suatu perpisahan yang
sendu.
Selamat berpisah semuanya. Selamat
tinggal’.
Begitu pula sama halnya dengan cerita
Tukang Pos Dalam Amplop. Yang dengan ikhlasnya terjebak dalam dunia amplop yang
hanya berisikan senja yang abadi, kendatipun senja yang sempurna, dunia amplop,
dunia yang terpisah dari ruang dan waktu.
Di kota dimana pelangi tak pernau
memudar. Senja sedang turun. Di pantai yang landai, langit senja membentang
diatas pasir basah. Pasir begitu putih dan lembut seperti tepung, air laut yang
mendesah perlahan memantulkan segala-gala nya dari langit pantai bagaikan
sebuah cermin di senja hari yang cemerlang keemasan.
Ia mengajarkan keimanan, pada teguh
nya prinsip seorang peternak kunang-kunang mandarin, Keimanan Sukab pada apa
yang diyakini nya untuk bertahan terpekur memandangi agung nya senja di rumah tepi
pantainya, walau harus menerobos akar tradisi nya, dimana hanya ia dan rumahnya
lah yang menghadap langsung ke laut. Hingga demi satu keyakinannya, ia berlayar
mengejar Senja hanya bermodalkan perahu nelayan kecil dan keyakinan.
Senja tentunya telah turun di pulau
tanpa nama itu menjadikannya sebuah gundukan menghitam ketika permukaan laut
seperti puisi seperti permukaan agar-agar berwarna kelam yang terus menerus
bergerak perlahan dengan lembut dan memberi perasaan rawan. Betapa tidak akan
menjadi ketika langit menjadi gelap, menghitam dan muram? Hanya ada sedikit
mega disana dengan sisa-sisa cahaya yang sudah sangat terlalu remang dan meski
keremangan bukanlah kegelapan tetapi keremangan lebih memberi perasaan rawan
daripada kegelapan.
Aku memaknai cerita-cerita pada Atas Nama Senja yang terdiri dari
cerpen; Senja di Pulau Tanpa Nama, Perahu
Nelayan Melintas Cakrawala & Senja
di Kaca Spion sebagai metafor penantian yang sangat panjang dan melelahkan
dari riwayat manusia. Bukan hanya sekedar membawa kesakitan dan kesengsaraan
laiknya orang-orang berpendapat, juga ada penantian disitu, penantian akan
kebahagiaan.
Tentu, buku Sepotong Senja Untuk
Pacarku yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma ini, lewat pemaknaan ku, bisa
saja melenceng jauh dari apa yang penulis ingin sampaikan dengan senja nya,
dengan teks, konteks, keadaan alam dan paradoks nya. Tentu juga, pemaknaan yang
dibagi dalam alur besar yang saya simpulkan diatas jauh melebihi makna yang
terkandung didalamnya. Dan bukanlah sesuatu yang mutlak, karena Seno Gumira
Ajidarma dengan senja nya ini, menawarkan apa-apa saja yang ingin kita llihat,
dari perspektif apa-apa saja pula, kita bisa mengambil pembelajaran dari Senja.