Hari kamis kemarin, tanggal 7 April, setelah selesai UTS kuliah Hukum Ketenagakerjaan, gue berkesempatan untuk mengunjungi kantin Mbok Jum. Sekedar informasi, kantin Mbok Jum ini terletak di sisi selatan Gedung Kampus Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.
Ada adagium yang populer dan menarik, di kalangan mahasiswa di kampus gue yaitu, "Status seorang mahasiswa UNS itu belum lengkap, kalo belum nongkrong di kantin nya Mbok Jum." Walaupun entah darimana dasar hipotesis ini. Dan katanya, kantin Mbok Jum ini sudah ada bahkan sebelum UNS didirikan. *Giila, keren abis ngga sih.
Walaupun jelas itu adalah kebohongan belaka, tapi yang jelas kantin Mbok Jum itu sudah lama berdiri di UNS dan menjadi legenda hidup sampai sekarang.
Pertama kali menjejakan kaki di altar kantinnya, bersama Zahid dan Herlambang, sebenarnya bagi gue sendiri ga ada yang terasa spesial di kantin ini. Melainkan mungkin, suasana yang sangat-sangat ramai yang akan kita jumpai. Mahasiswa dari berbagai ras ngumpul jadi satu di warung Mbok Jum ini. Ada yang mungkin keturunan Nigeria, Tiongkok, dan keanekaragaman karakteristik dari mahasiswa bisa ditemui disitu. *Mungkin ini yang bikin spesial dan keren abis.
Gue penasaran dengan makanan disini. Gue, Herlambang dan Zahid langsung memesan makanan dan duduk (agak berdesakan juga). Jujur, yah, gue ga tau yah entah mungkin lidah gue yang lagi error atau mood gue yang lagi gaenak, tapi makanannya menurut gue ya biasa aja. Standar untuk rasa makanan ala kantin *Walaupun lebih enak makan di Mbok Jum daripada makan di kantin FH *Eh...
Nah tapi, urusan harga, gue harus mengakui ya kalo harganya itu sesuai dengan kedalaman kantong mahasiswa.
Karena ada acara mendadak, kita bertiga akhirnya buru-buru meninggalkan warung Mbok Jum. Tapi, yah... setidaknya walaupun sebentar, tapi rasa penasaran gue terkait adanya warung Mbok Jum itu bisa tersampaikan juga. *Dan kali ini gue bisa ber-kuliah dengan tenang :-D
Nah, saat hendak berjalan meninggalkan meja makan, ada sesuatu yang menarik perhatian gue. Di pojok kiri tembok nya, kalo diliat dari depan itu ada foto Pak Pramoedya Ananta Toer yang tengah tersenyum. Dibawahnya bertuliskan "Didiklah rakyat dengan berorganisasi, dan didiklah penguasa dengan perlawanan." Kalimat powerful bagi gue, seketika gue merasa merinding. Gue tertegun. Ini benar-benar kantin yang spesial seperti yang sudah dikatakan mahasiswa lainnya.
Gue jadi ingat, dengan kasus kriminalisasi aktivis yang memperjuangkan hak-hak buruh, seperti yang baru-baru ini terjadi. Pada saudara sebangsa dan setanah air kita, yaitu Bung Hakam dan Bung Agus. Bagaimana getolnya mereka mendidik penguasa, yang duduk diatas kursi berbalut emas nun jauh disana, dengan perlawanan seperti yang dikatakan Pak Pram. Mereka melawan kedegilan para penguasa.
Mereka berdua, (dan sebenarnya masih banyak contoh lainnya lagi) telah dijatuhi vonis hukuman penjara selama 3 bulan, tanpa dasar hukum yang jelas. Bagi gue pribadi, ini hanya 'bentuk halus' dari tahanan politik di masa orde baru dulu. Dimana setiap orang yang berani bersuara lantang akan dimasukan ke penjara tanpa proses peradilan. Pun demikian dengan Bung Agus dan Bung Hakam. Mereka hanya menjalani proses peradilan, semata-mata hanya bentuk formalitas. Hanya untuk menunjukkan bahwa hukum itu ada di Indonesia. Tapi tidak lebih hanya sampah!
Memang benar apa yang dikatakan Soe Hok Gie. Kebenaran itu hanya ada di langit, dan semuanya itu palsu...palsu. Dan ketika gue menilik lagi, apa yang terjadi pada Bung Hakam dan Bung Agus. Boleh kiranya, gue menambahkan Keadilan pun hanya ada di langit, semuanya itu palsu... palsu.
Gue benar-benar sempat sedih dan empati, ketika Bung Hakam menulis ini di di facebooknya. Sebelum dia masuk penjara.
Terlihat semakin memuakkan dalil-dalil 'Presumption of Innocence (Praduga tak bersalah) dan Equality Before the Law (Persamaan didepan hukum) yang selalu di gaung-gaungkan nyaring. Tapi kosong dalam tataran yang sesungguhnya.
Melihat kenyataan yang seperti ini, pesimisme hidup yang dirasakan Soe Hok Gie perlahan mulai menghinggapi ulu hati. Mengutip kata Soe Hok Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran:
Aku jadi berpikir sekarang. Dan kini aku pesimistis sekali pada dunia. Aku cinta pada anak-anak, binatang-binatang, rakyat yang sabar dan patuh ditindas. Tapi disamping itu manusia itu kejam sekali. Lihat ada peperangan, sengsara, penipuan, perbudakan. Itulah manifestasi-manifestasi dari kebudayaan-kebudayaan manusia.
Kalau begini alternatif satu-satunya, mengapa kita tidak akhiri saja peradaban kita ini? Tujuan kita ialah kesenangan dan kesempurnaan. Tapi kita adalah makhluk-makhluk yang tak mungkin hidup bersama. Kita akan berkonfrontasi dengan persoalan-persoalan ketamakan, alam dan kekejaman. Jadi peradaban cuma alat. Kalau itu gagal baik kita buang dan hancurkan saja. (hal. 82)
Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan sejarah tidak akan lahir? Seolah-olah bila kita membagi sejarah maka yang kita jumpai hanya pengkhianatan. Seolah-olah dalam setiap ruang dan waktu kita hidup diatas nya. Ya, betapa tragisnya. "Hidup adalah penderitaan", Kata Buddha. Dan manusia tidak bisa lepas daripadanya. Kita hidup dan kita menerima itu sebagai suatu keharusan. (hal 90)
Sebagai penutup, satu-satunya alternatif untuk melawan ketidakadilan penguasa. Atau satu-satu nya cara agar mendidik para penguasa adalah acungkan kepalan kiri dan teriakan lawan. Indonesia butuh Marxist-marxist lain yang berani berkata TIDAK pada ketidak adilan.
Iya, tidak ada syair yang lebih indah daripada berbicara kebenaran itu sendiri.
"Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan, disana bersemayam kemerdekaan apabila engkau memaksa diam akan aku siapkan untukmu PEMBERONTAKAN."
Wiji Thukul