Menakar Arah Pendidikan Indonesia


Mungkin beberapa dari Bung & Nona, pernah (setidaknya) melihat sekali dari cuplikan video diatas. Video tersebut adalah konten video dari pengguna youtuber bernama Prince ea dan berjudul 'The People vs The School System.'
Dengan berlatarkan pengadilan, gugatan tersebut dibuka dengan prolog:
...Albert Einstein pernah mengatakan, setiap orang itu jenius... tapi jika menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka itu akan membuatnya merasa bodoh seumur hidupnya. Terdakwa (sekolah) tidak hanya memaksa ikan memanjat pohon tapi juga membuat mereka turun kebawah... dan lari sejauh sepuluh mil.
Analogi yang sederhana saya kira, namun cukup mengusik logika. Tidakkah hampir sekolah-sekolah di Indonesia menerapkan analogi tersebut pada siswanya? Setidaknya, setiap siswa harus mahir dalam menguasai ilmu mata pelajaran yang telah ditetapkan oleh kurikulum. Setidaknya, setiap siswa yang ingin mencapai predikat lulus, harus menguasai mata pelajaran yang diuji nasional-kan. Dengan dalih untuk dijadikan sebagai pemetaan mutu program pendidikan dan atau satuan pendidikan. Kembali seperti Albert Einstein katakan bahwa, setiap orang adalah jenius. Namun di bidang-nya masing-masing. Kita tidak mungkin menetapkan parameter yang sama dengan sesuatu yang disebut kurikulum, untuk mengukur otak dan kemampuan manusia yang satu dengan yang lainnya.
Jadi tolong jelaskan kenapa sekolah memperlakukan para murid seperti cetakan potongan kue atau kancing belakang topi. Memberi mereka omong kosong 'satu ukuran untuk semua.' Jika dokter menuliskan resep yang sama kepada semua pasiennya, hasilnya pasti TRAGIS. Begitu banyak orang akan sakit. Namun jika itu terjadi di sekolah dan itulah yang sebenarnya terjadi, maka ini adalah malpraktek pendidikan.
Pointnya adalah
Ketika satu orang guru berdiri di depan 20 anak, setiap anak mempunyai... kekuatan yang berbeda, kebutuhan yang berbeda, bakat berbeda, mimpi berbeda, dan guru mengajarkan hal yang sama dengan cara yang sama?
Dan disini
Lihat, guru adalah pahlawan yang sering disalahkan, tapi guru bukanlah masalahnya. GURU BEKERJA DALAM SISTEM TANPA BANYAK PILIHAN ATAU HAK. KURIKULUM DIBUAT OLEH PEMBUAT KEBIJAKAN.
Dan untuk lebih jelasnya silahkan dipahami dan di sadari betul-betul konten video tersebut. Saya pikir, jenjang pendidikan yang satu dengan yang lainnya adalah satu sistem yang saling berjalin-kelindan untuk membuat suatu pola. Dan pada akhirnya, seseorang yang telah sampai pada tahap perkuliahan pun akan tetap sama tak tersadarkan dibuat tidur oleh sistem tersebut. Saya tidak mengatakan bahwa pendidikan itu tidak penting. Saking pentingnya pendidikan, Indonesia pun mampu merdeka selain dengan keringat dan darah juga karena politik etik yang dilakukan oleh Belanda. Berkat orang-orang terdidik itulah Indonesia mampu mengusir para kolonial dan menentukan sendiri arah bangsanya.
Dan kata-kata Tuan Mr.K. Terus juga mengusik kesadaranku. Pribumi terpelajar! Mereka akan jadi musuh lestari kekuatan Hindia Belanda! Kekuasaan kolonial ini mencemburui kaum terpelajar Pribumi! Bukan satu kebetulan Gubermen menjual ilmu pengetahuan semahal mungkin pada Pribumi. Ilmu pengetahuan bisa membawa orang-orang sederhana dan primitif ke dunia angan-angan yang tak bisa diukur meteran ketinggiannya. Maka logikannya setiap terpelajar Pribumi harus dibikin berpihak pada Gubermen, gaji baik, kedudukan baik, segala macam kehormatan yang tidak kurang pula baiknya.
-Rumah Kaca, hal. 90-


Kampus Saat Ini

Coba lihat di kampus-kampus sekarang. Diskursus yang berkembang adalah PTN-BH (bagi negeri) dan menuju World Class University. Dengan dalih tujuan untuk bersaing dengan terpelajar Eropa. Oh... perlu dicatat barangkali saya hampir lupa, dikelas-kelas pun dosen seringkali mengatakan. 'Jangan jadi mahasiswa yang biasa, jadilah mahasiswa yang rajin biar IPK tinggi. Dapat pekerjaan yang baik dan gaji yang baik, mampu bersaing dengan pelajar asing. Apalagi kita sedang menghadapi MEA.'

Terdengar tidak ada yang salah memang, semua yg dikatakan masuk akal. Namun, apakah hakikat dari pendidikan hanya untuk mengejar pekerjaan dan gaji yang baik? Apakah yakin, kita tidak terjebak pada kesadaran palsu, yang dibuat oleh para penindas yang tidak bukan adalah para pembuat kurikulum, untuk melanggengkan kekuasaannya barang 50-100 tahun mendatang?

Menyoal diskursus tentang PTN-BH dan World Class Uiversity, yang merupakan produk neo-liberal yang kini tangan-tangan nya telah menjamah dunia pendidikan, dengan disahkan nya secara yuridis peraturan yang terkonstelasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Sederhananya, dengan diberlakukannya peraturan tersebut, universitas bisa dengan leluasa (dan mungkin harus) melakukan privatisasi dan komersialisasi kampus. Ini cukup bermasalah, ketika kampus yang dikenal sebagai institusi pendidikan yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, harus berbagi tempat dengan para kapitalis yang ingin membangun pasarnya dalam kampus. Alhasil kampus menjadi lahan bisnis yang sangat subur untuk mengeruk kekayaan bagi para kapitalis.

KAMPUS, idealnya, merupakan tempat berkembangnya segala bentuk pengetahuan. Diskusi-diskusi kecil di sudut kampus, di dalam ruang kuliah, bahkan di kantin menjadi tempat dimana gagasan diadu dan terus dikembangkan. Iklim yang penuh khasanah intelektual tersebut menjadi fenomena yang tak terlepas dari semua unsur yang hidup dan beraktivitas di dalam kampus. Di sana ada mahasiswa, dosen, birokrasi kampus dan beberapa orang yang menggantungkan hidupnya sebagai pegawai atau pekerja. Dalam perspektif konstruktivisme, proses transaksi ide-ide perubahan dan gagasan yang revolusioner dari mahasiswa terbentuk dari interaksinya dengan semua elemen yang ada di dalam kampus.

Barangkali dari Bung & Nona agak lupa mungkin, saya perlu mengingatkan bahwa Tri Dharma Perguruan Tinggi berisikan; Pendidikan, Penelitian dan PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT. Ketiga-tiga nya adalah unsur yang saling berjalin-kelindan dan mempengaruhi satu sama lain, tidak ter-dikotomi-kan.

Saya kembali akan mengutip video diatas:
Anda dibuat untuk melatih siswa bisa bekerja di pabrik. Inilah kenapa kalian mendudukan siswa dalam barisan teratur. Tenang dan diam, bilang. "angkat tangan jika ingin bicara, beri waktu istirahat sejenak untuk makan dan 8 jan selanjutnya mendikte cara mereka berfikir, memaksa mereka berkompetisi untuk dapat nilai 'A'. Sebuah huruf yang menentukan kualitas produk mirip dengan kualitas daging dagangan .
Saya kira, sistem seperti inipun tidak hanya diberlakukan di lingkungan sekolah, melainkan di lingkungan kampus sekalipun. Tragis.

Bagaimana ruang-ruang publik kampus kini dihiasi dengan obrolan sekitar budaya konsumerisme, anti terhadap gagasan ke-Indonesiaan dan Kebangsaan. Membicarakan keinginan dan gagasan adalah dikatakan berlebihan dan idealis. Dalam teori ruang publik Jurgen Habermas, menjelaskan konsep ruang publik sebagai ruang yang mandiri dan terpisah dari negara dan pasar. Ruang publik memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses untuk menjadi pengusung opini publik. Dari teori tersebut, dimana kampus sebagai kawah candradimuka, yang merupakan representasi dari suatu negara juga sebagai tempat trial and error harusnya mampu memanfaatkan ruang-ruang publik tersebut seperti kantin dan taman, sebagai ruang diskusi, dalektika dan dialogika yang terlepas dari kepentingan. Yah... walaupun ketika kita berbicara tentang Derrida dengan Dekonstruksi nya, meng-kritik bahwa teori tersebut tidak akan terealisasi, karena tidak mungkin, dalam suatu kumpulan manusia yang berupa ruang publik tersebut mencapai satu kesepakatan dan tidak mungkin tidak terikat dengan kepentingan. Konsep tersebut adalah utopis. Namun, bukankah kampus adalah tempat trial and error.


Konsep Pendidikan Gaya Bank

Sebenarnya, gagasan yang disampaikan dalam video, mengenai sistem pendidikan yang seperti pabrik (dan realita nya juga lulusan sarjana juga kebanyakan akan ditempatkan di pabrik), jauh-jauh hari, Paulo Freire telah menyinggung konsep serupa dengan konsep pendidikan gaya bank.
Suatu analisis yang cermat tentang hubungan antara guru-murid pada semua tingkatan, baik di dalam maupun di luar sekolah, mengungkapkan watak bercerita (narrative) yang mendasar didalamnya hubungan ini melibatkan seorang subyek yang bercerita (guru) dan obyek-obyek yang patuh dan mendengarkan (murid). Isi pelajaran yang diceritakan, baik yang menyangkut nilai-nilai maupun segi-segi empiris dari realitas, dari proses cerita cenderung menjadi kaku dan tidak hidup. Pendidikan menderita penyakit semacam itu.

Pendidikan bercerita dengan guru sebagai pencerita mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Lebih buruk lagi, murid diubah nya menjadi "bejana-bejana", wadah-wadah kosong yang siap diisi oleh guru. Semakin penuh dia mengisi wadah-wadah itu, semakin baik pula seorang guru. Semakin patuh wadah-wadah itu untuk diisi semakin baik pula mereka sebagai murid.

Pendidikan karena nya menjadi sebuah kegiatan menabung dimana para murid adalah celengan dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan "mengisi tabungan" yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan "gaya bank", di mana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan. Memang benar, mereka mempunyai kesempatan untuk menjadi pengumpul dan pencatat barang-barang simpanan. Namun, pada akhirnya manusia sendiri lah yang disimpan karena miskinnya daya cipta, daya ubah dan pengetahuan, dalam sistem pendidikan yang dalam keadaan terbaik pun masih salah arah ini. Padahal tanpa usaha mencari, tanpa praksis, manusia tidak akan menjadi benar-benar manusiawi. Pengetahuan hanya lahir melalui usaha penemuan dan penemuan ulang, melalui pencarian manusia yang gelisah, tidak sabar, terus menerus dan penuh harapan di dunia, dengan dunia dan bersama orang lain.

Pendidikan gaya bank memelihara dan bahkan mempertajam kontradiksi itu melalui cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan sebagai berikut, yang mencerminkan suatu keadaan masyarakat tertindas secara keseluruhan:
1. Guru mengajar, murid diajar.
2. Guru mengetahui segala sesuatu, tapi murid tidak tahu apa-apa.
3. Guru berfikir, murid dipikirkan.
4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan.
5. Guru menentukan peraturan, murid diatur.
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, Murid menuyetujui.
7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
9. Guru mencampur-adukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang dia lakukan untuk menghalangi kebebasan muridnya.
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.

Tidaklah mengherankan jika konsep pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur. Semakin banyak murid menyimpan tabungan yang dititpkan kepada mereka, semakin kurang mengembangkan kesadaran mereka, semakin kurang mengembangkan kesadaran kritis yang dapat mereka peroleh dari keterlibatan di dunia sebagai pengubah dunia tersebut. Semakin penuh mereka menerima peran pasif yang disodorkan kepada dirinya, mereka semakin cenderung menyesuaikan diri dengan dunia menurut apa adanya serta pandangan terhadap realitas terpotong-potong sebagaimana yang ditanamkan kepada diri mereka.

Pendidikan bergaya pegawai bank ini tidak menyadari bahwa tidak ada ketentraman sejati dalam peranannya yang berlebihan itu, bahwa orang harus berusaha hidup bersama dengan orang lain dalam solidaritas. Orang tidak dapat mencari menangnya senidri, atau bahkan sekedar ada-bersama (co-exist) dengan murid-muridnya. Solidaritas menuntut adanya komunikasi sejati, dan konsep gaya bank yang mengarahkan pendidik seperti itu senantiasa takut dan menjauhi komunikasi.

Gagasan Praksis

Paulo Freire, menawarkan gagasan praksis "problem-posing education" atau pendidikan hadap masalah yang menjawab hakikat kesadaran -yakni intensionalitas- akan menolak pernyataan-pernyataan serta mewujudkan komunikasi. Konsep ini mewakili sifat khas dari kesadaran: yakni sadar akan, tidak saja terhadap objek-objek tetapi juga berbalik kepada dirinya sendiri, sehingga "terbelah" dalam pengertian Jaspers - yakni, kesadaran sebagai kesadaran atas kesadaran.

Pendidikan yang membebaskan berisi laku-laku pemahaman, bukannya pengalihan-pengalihan informasi. Dia merupakan sebuah situasi belajar dimana obyek yang dapat dipahami (sama sekali bukan titik akhir dari laku pemahaman) menghubungkan para pelaku pemahaman -guru disatu sisi dan murid disisi lain. Oleh karena itu pelaksanaan pendidikan hadap-masalah ini pertama kali menuntut adanya pemecahan masalah kontradiksi antara guru dan murid. Hubungan dialogis- yang harus ada pada para pelaku pemahaman untuk bersama-sama mengamati objek yang sama -tidak dapat diwujudkan dengan cara yang lain.

Sesungguhnya, pendidikan hadap masalah yang menolak pola hubungan vertikal dalam pendidikan gaya bank, dapat memenuhi fungsinya sebagai praktek kebebasan hanya jika dia dapat mengatasi kontradiksi-kontradiksi diatas. Melalui dialog, guru-nya-murid serta murid-nya-guru tidak ada lagi dan muncul suasana baru: guru-yang-murid dengan murid-yang-guru. Guru tidak lagi menjadi orang yang-mengajar, tetapi orang yang mengajar dirinya melalui dialog dengan para murid, yang pada gilirannya disamping diajar mereka juga mengajar. Mereka semua bertanggung jawab terhadap suatu proses tempat mereka tumbuh dan berkembang. Dalam proses ini pendapat-pendapat yang didasarkan pada: wewenang tidak berlaku lagi, agar dapat berfungsi, wewenang harus berpihak kepada kebebasan, bukan menentang kebebasan. Disini tidak ada orang mengajar orang lain, atau orang yang mengajar dirinya sendiri. Manusia saling mengajar satu sama lain, ditengahi oleh dunia, oleh obyek-obyek yang dapat diamati yang dalam pendidikan gaya bank: dimiliki oleh guru semata.

Pada intinya, fitrah ontologis dari seorang manusia adalah kebebasan atau kemerdekaan. Pendidikan hadap-masalah adalah gagasan praksis tentang bagaimana memanusiakan-manusia dalam ranah pendidikan. Memandang manusia murid, mahasiswa sebagai subyek, atau manusia secara utuh, bukan sebagai objek, dengan kata lain sebagai benda. Pendidikan hadap-masalah adalah suatu proses untuk memanusiakan manusia.
Sementara itu teori dan praktik pendidikan gaya bank mengabdi kepada kepada tujuan-tujuan penindasan tersebut diatas dengan cara yang sungguh efisien. Pelajaran-pelajaran yang verbalistik, bahan bacaan yang telah ditentukan, metode-metode untuk menilai "ilmu pengetahuan", jarak antara guru dan murid, ukuran-ukuran bagi kenaikan kelas; segala sesuatu dalam pendekatan siap-pakai ini melumpuhkan pikiran.

Perlu ditekankan sekali lagi bahwa, guru (satu pemahaman dalam blog ini dengan dosen) tidaklah sepenuhnya salah. Karena seperti yang sudah dijelaskan, bahwa mereka terbentur dengan hak dan kewajiban yang terbatas, ditambah lagi dengan limitasi dan tuntutan dari kurikulum, untuk melanggengkan kekuasaan para kaum penindas.
Namun yang kemudian menjadi persoalan dan berbahaya adalah, ketika para guru (dan guru besar) telah menginternalisasi nilai-nilai yang dibawa oleh para penindas dengan sistem bank nya, dan kemudian, para guru ini tidak sadar jika mereka telah terintegrasi dalam satu sistem yang melumpuhkan pikiran tersebut.
Pendidik adalah pekerjaan yang paling penting di muka bumi, tetapi mereka digaji rendah? Tidak heran banyak siswa bersikap tidak jujur. Mari kita jujur, pendidik harus memiliki pendapatan yang sama dengan dokter, karena dokter bisa membedah jantung dan menyelamatkan jiwa anak, tetapi seorang pendidik hebat mampu menyentuh hati setiap anak dan membuatnya benar-benar hidup, pendidik adalah orang-orang yang sering disalahkan, tapi sebenarnya bukan mereka masalahnya. Mereka bekerja dalam sistem tanpa ada pilihan atau hak, kurikulum dibuat oleh pembuat kebijakan.

Hasil gambar untuk sistem pendidikan dalam buku pendidikan kaum tertindas
Pendidikan Hadap-Masalah/problem-posing education


Sebenarnya, gagasan praksis tentang pendidikan pernah ditawarkan oleh pendidik yang hebat sekelas Tan. Saya kira model gagasan nya adalah sama seperti model pendidikan hadap-masalah, namun lebih di spesifikasi dan disesuaikan dengan karakter dan budaya dari rakyat Indonesia. Dalam buku Tan, Sebuah Novel. Yang ditulis oleh Hendri Teja. Tan Malaka mengatakan:
Saat ini yang kita perlukan adalah pendidikan yang berbasiskan rakyat. Maksudku, sistem dan kurikulumnya mesti menentang habis-habisan pendidikan kolonial yang membebek pada kapitalisme. Pendidikan rakyat sejati mesti bertumpu pada tiga tujuan. Pertama, pendidikan keterampilan sebagai bekal untuk berkiprah dalam masyarakat kapitalis, seperti membaca, menulis, berhitung, ilmu alam, bahasa dan sebagainya. Kedua, pendidikan bergaul, berorganisasi dan berdemokrasi guna membentuk karakter pemuda Hindia yang tangguh, percaya diri dan penuh harga diri. Dan ketiga, pendidikan yang berorientasi cinta kepada rakyat melarat.
-Tan, Sebuah Novel. Hal. 215.
Di lain halaman, tepatnya di hlm 216, Tan menyambungnya:
Tapi, menurutku siapapun kita, apapun keadaan kita, kaya-miskin, putih-cokelat, Islam-Kristen, kita dilahirkan merdeka. Itulah martabat yang sesungguhnya. Kemerdekaan sebagai manusia.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Selalu ada yang tersisa, dan meski saya kini telah sampai di bagian akhir teks ini saya tidak dapat memastikan apakah saya dapat mengakhirinya. Derrida tidak mengizinkan saya mati disini. Saya harus memulai perjalanan saya selanjutnya. Meski anda, pembaca, menikam saya dan ingin saya mati agar anda bisa bebas bermain tafsir dan menulis kembali teks ini. Saya harus bangkit. Saya harus hidup kembali. Biarlah anda anggap saya hantu. Tak apa-apa. Saya memang ingin menghantu hidup diantara dua dunia: Kehadiran dan ketiadaan.

-Terinspirasi dari narasi Muhammad Al-Fayyadl dalam buku berjudul Derrida-
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bahan bacaan:
 
Hendri Teja. 2016. Tan: Sebuah Novel. Jakarta. Javanica.
Javanica – Jakarta

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mjnasti/tinjauan-buku-tan-sebuah-novel_5716b9770bb0bd87048b457c
Javanica – Jakarta

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mjnasti/tinjauan-buku-tan-sebuah-novel_5716b9770bb0bd87048b457c


Paulo Freire. 1972. Pedagogy of the Oppresed. Great Britain. Penguin Books.
Diterjemahkan dalam judul Pendidikan Kaum Tertindas

Pramoedya Ananta Toer. 1988. Rumah Kaca. Jakarta. Lentera Dipantara.

 http://indoprogress.com/2016/07/merebut-hak-atas-kampus/


Dan mungkin bagi yang sudah baca buku-bukunya Ki Hadjar Dewantara boleh (banget) berdiskusi di bawah, di kolom komentar.

Share:

9 komentar

  1. Orang Indonesia tercetak 'Jenius' dicekoki banyak mata pelajaran :D Parahnya lagi kalau ditambah orang tua yang nilai anaknya ada yang jelek dimarahin abis-abisan. Padahal ada nilai yg bagus lainnya.

    Semoga besok aku bisa jadi orang tua yang baik.

    BalasHapus
  2. Sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia memang masih belum maksimal karena sistem tersebut menyamaratakan semua pelajar atau sekolah, padahal setiap fasilitas yang dimiliki pun berbeda-beda. Dengan begitu, pemerintah selaku pembuat wewenang harus bisa membaca masalah yang sedang terjadi di dunia pendidikan saat ini, sehingga kualitas pelajar pun semoga bisa semakin membaik setelah lulus nanti.

    BalasHapus
  3. Waduh.....nggk paham aku sama kebanyakan tulisan diatas, tapi sedikit yg dapat aku petik.

    Jadi setiap manusia itu memiliki kemampuan dan potensi yg berbeda. Dan kebanyakan pendidikan indonesia msih menyamaratakan setiap siswa, sehingga yg pandai tambah pandai yang lain kurang, begitu iya??....hehe.

    BalasHapus
  4. Betul tuh apa yg dituliskan Vindi, aku juga sempat ngalamin, dimana nlaiku ada yang jelak. Dimarahi dan pdahal ada yg bagusnya juga.

    Dari 10 point pendidikan gaya bank memang benar. Aku banyak belajar dari tulisan ini. Setidaknya untuk diriku pribadi yg suatu saat nanti bakal jadi orang tua dan harus lebih baik mendidik anak.

    BalasHapus
  5. Tiap anak cerdas di bidangnya masing-masing, walaupun aku masih seorang mahasiswa, suka geram dengan orangtua yang menganggap bahwa nilai bagus di raport dan ranking 1 di kelas adalah segalanya. Setiap anak punya kemampuannya masing-masing dan tugas orangtua untuk mendorong anaknya percaya akan bakat tersebut. Aku bangga dengan orangtuaku yang membebaskan anaknya untuk jadi apapun, walaupun aku dan adikku punya nilai dan ranking yang berbeda, orangtuaku tidak pernah mempermasalahkan hal itu, mereka percaya kami cerdas di jalur masing-masing :)

    BalasHapus
  6. Aku udah nonton video ini jauh2 hari, suka sekali pastinya
    sebagai seorang pendidik aku tergelitik jg melihat fenomena pendidikan skg. Untungnya aku ngajar di sekolah swasta yang menerapkan kurikulum beda.
    aKU PERCAYA TIap anak punya kelebihan masing2, buka diurutkan berdasar peringkat

    BalasHapus
  7. jujur banyak kosa kata yg aku kurang paham mungkin faktor kurang membaca, tp aku setuju sama tulisan kamu di mana yg aku tangkap intinya pendidikan di negara kita memang masih menyamaratakan siswa padahal pada dasarnya setiap manusia itu beda-beda kemampuannya, mana fasilitas jg ga merata, kalau di Jawa fasilitas lengkap, coba kalau yg jauh dari ibu kota hmm jangankan fasilitas, tenaga guru pun masih kurang :(

    BalasHapus
  8. Pendidikan gaya bank itu istilah yang tepat karena yg mengendalikan Dunia dan Indonesia adalah Banker. Setiap lulusan univ atau sekolah2 adalah buruk/budak Mereka.

    Mungkin trmasuk gue. Tapi gue mungkin memposisikan sbgai buruh yg melawan!

    BalasHapus
  9. Pendidikan gaya bank itu istilah yang tepat karena yg mengendalikan Dunia dan Indonesia adalah Banker. Setiap lulusan univ atau sekolah2 adalah buruk/budak Mereka.

    Mungkin trmasuk gue. Tapi gue mungkin memposisikan sbgai buruh yg melawan!

    BalasHapus

“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.”