Kematian Makna

Aku ingin mati, namun takut terluka. Aku ingin tetap hidup, namun takut menua. Aku mendamba suka, namun menolak duka. Mungkin aku harus sedikit belajar kepada Nebula. Ia adalah debu, gas dan plasma. Ia yang menjadi indah karena kematian sang bintang atau ledakan supernova.

Di luar sana, mereka bercerita perihal utopia, sementara yang menyanggah di persimpangan jalan adalah sebuah distopia. Aku tersaruk dalam mimpi, penderitaan dan realitas yang terluka, sialnya nembutal tak legal di semua negara.

Aku menolak tragedi dan lari lebih jauh mencari makna, lupa bertanya, sehingga apa yang aku lakukan hanyalah kembali mengukir narasi penuh nestapa.

Dan di sana,

orang asing berdiri di belakang tawa bulan yang menembus sela kayu dan kaca. Matanya membeku, setengah berkilau dan membuat keraguan lenyap seiring rebah yang melahap ilusi dari kepala. Perlahan bibirnya bergerak membuat suara, tegas dan menjebak laiknya bisikan Spinoza.

Aku tak ingin berhenti menyilam di tengah malam yang di hantui Kafka. Aku kembali menoleh kepada si orang asing, ia masih berdiri dengan awan gelap yang memeluk pundaknya. Aku coba memandangnya jauh lebih dalam, agar tanya menemui muara.

Dan ternyata,

orang asing di hadapanku itu adalah diriku sendiri yang mati di tikam cahaya. Tatapnya tajam menggores langit dan menaburkan melankolia. Lalu aku memberanikan diri untuk bertanya, kepada orang asing yang ternyata adalah aku juga. “Apa yang harus aku lakukan untuk menerima dunia?”

Ada darah berwarna gelap di bibir pucatnya, tangannya terayun lemah sedikit lama. Ia menghembuskan nafasnya, tergagu ia menjawab, “O diriku yang menyedihkan laiknya api dalam gereja, untuk menjadi utuh, kau tak perlu Euthanasia.”

Dan yang terdengar di akhir hanya sayup-sayup frasa, kemudian ia hilang bersama tangisan gagak yang mengetuk jendela. Kata-kata tadi sedikit hiperbolis dan tanpa ada kaitan dengan fisiologis nyata, namun, aku akan ingat itu sebagai alasan mengapa aku tetap bernafas di ujung semesta tanpa makna.
Apa yang aku lakukan selanjutnya adalah mengumpulkan ingatan dengan berkelana, mengeja hiraeth meski aku bukanlah Wales yang tenggelam dalam bahasa.

***


@randyradomski_ // 10 Juni 2017 – Bumi



Sebelum tidur, ketika aku masih sering mempertanyakan segala hal, dan ingin menamai dunia, termasuk yang Ada, kedua orang tuaku selalu menceritakan dongeng penghantar tidur. Mereka bilang supaya tidur ku nanti, di datangi mimpi-mimpi indah, juga mereka membacakan doa, sembari aku ikut merapalkannya dalam sayup-sayup mataku yang ingin terpejam, kemudian terlelap. Sembari menyiratkan, supaya setan tak mampir di kamar kecilku. Begitu katanya.

Seringkali tentang latar dan tokoh wayang dari kitab Mahabharata, tentang kerajaan Hastinapura yang memamkmurkan negeri, tanah dan rakyat nya.

Lain kali, cerita tentang heroiknya Nabi Ibrahim dalam perlawanannya terhadap Raja Namrud. Atau kekuatan cinta dari Nabi Yusuf, yang mampu menaklukan hasrat dan nafsu nya dengan ketetapan iman.

Sering juga tentang Nabi Muhammad, yang membawa pesan perdamaian kepada seluruh jagat raya, selain misi utamanya sebagai penyempurna akhlak.

Belakangan dari buku cerita yang kubacai sendiri, yang aku dapat dari deretan rak buku, yang jadi perpustakaan kecil Papahku, tentang revolusi Prancis, negeri impian katanya. Dimana hak-hak manusia dihormati sepenuhnya disini. Tak peduli; kaya, miskin, hitam, putih, cokelat. Kemanusiaan dijunjung tinggi. Hukum ditegakkan. Liberte, Egalite, Fraternite; Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan.

Kesemuanya, memang benar betul, mampu menghantarkan mimpi indah, pada tiap malam mencekam sekalipun, walau dirundung hujan, petir bergeletar berkelebatan di luar dan angin memporak-porandakan pepohonan. Aku masih bisa tertidur lelap dengan mimpi indah, hingga keesokan harinya aku baru menyadari, ketika aku perlahan melangkahkan kaki ku keluar rumah, aku mendapati beberapa pohon yang kata nenek ku entah berusia 100 tahun lebih, tumbang dan menutupi jalanan. Hingga orang-orang di desa ku harus disibukkan untuk kerja bakti menyingkirkan tumbangan pohon tersebut dari jalanan.

Namun, benar pula apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer; lebih kurang; 'Hidup itu seimbang, tuan. Barangsiapa hanya memandang keceriannya saja, ia gila. Barangsiapa hanya memandang pada penderitaannya saja, ia sakit.' Bak seseorang yang hendak menyusuri perjalanan yang jauh, ia menunggu di stasiun kereta. Lalu cepat maupun lambat setelah tiket dicocokkan dengan identitas penumpang, dan kereta pun akan berderap-derap lalu berhenti dan menampung orang-orang yang hendak pergi tersebut. Begitupula dengan mimpi ku, belakangan, akhirnya kudapati sering bermimpi buruk. Apa hal aku tak begitu tahu. Seingatku, aku selalu merapalkan doa sebelum tidur, tidak peduli mata ku benar-benar lelah.

Seingatku, aku baru menemukan buku di pojok kanan baris ketiga dari rak papahku, dan tengah membacainya. Buku tersebut sebagian besar menceritakan tentang suatu negeri, yang kaya akan sumber daya. Buku tersebut diawali dengan kalimat yang cukup aneh bagi bocah yang masih berumur belasan tahun sepertiku.
"Bukan lautan hanya kolam susu...
Kail dan jala cukup menghidupmu.... 
Tiada badai tiada topan kau temui...
Ikan dan udang menghampiri dirimu...
Orang bilang tanah kita tanah surga...
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman...
Orang bilang tanah kita tanah surga...
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman"

Diceritakan negeri itu bernama Inathena. Sedikit banyak, mengadopsi cerita dari buku Animal Farm nya George Orwell. Begitu kaya nya negeri tersebut, namun naas nian nasib rakyat nya, yang harus dipimpin oleh pemimpin diktator haus darah. Keadaan itu berlangsung hingga tahun-tahun berikutnya, hingga pandangan rakyatnya tertutup, entah kemana ujungnya.

Hingga suatu ketika, ada tiga orang pemuda. Bernama Snowball, Napoleon dan Squealer. Singkatnya, ketiga pemuda tersebut benar-benar muak dengan keadaan itu yang semakin hari semakin mencekik erat leher nya. Ketiga pemuda tersebut bak dilahirkan langsung oleh keturunan-keturunan dewa Oedipus sehingga dikaruniai bakat dan kemampuan khusus. Napoleon seorang pemikir dan orator ulung, Snowball seorang intelektual, konseptor dan moralis, dan Squaler seorang propagandis yang kelak dengan kata-kata nya, ia mampu menaklukan seekor singa nemesis.

Mereka bertiga para pemimpin revolusioner, bersama-sama menyusun taktik, rencana dan strategi untuk terciptanya sebuah revolusi. Singkat cerita, revolusi pecah, dan Snowball, Napoleon dan Squealer dengan menghimpun kekuatan bersama rakyat Inathena mereka berhasil menggulingkan si penguasa diktator. Dengan mempertaruhkan darah, nyawa, harta.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hari baru menyongsong, dengan diawali matahari yang terbit dari timur. Begitu cerianya matahari pagi itu, disusul dengan senyum yang tak kalah cerah dari rakyat-rakyat Inathena. Dalam pada masa transisi itu, rakyat secara langsung meminta Snowball, Napoleon dan Squealer untuk memimpin menjemput takdir-takdir nya di masa mendatang.

Ada garis-garis besar haluan yang menjadi fondasi pada berdirinya negeri Inathena yang baru. Mungkin lebih mirip dengan sistem sosialisme.
1. Semua manusia adalah saudara dan sama tinggi.
2. Keadilan hukum.
3. Kemakmuran rakyat.

Bahwa, pada masa awal-awal keberjalanannya, terdapat banyak rintangan dan hambatan yang diluar ekspektasi. Pada nyatanya, rakyat malah dibuat lebih menderita dibandingkan masa si diktator. Namun semuanya tidak ada yang mengeluh. Karena mereka berpikir, tidaklah ada sesuatu yang lebih berharga daripada kebebasan dan mampu menentukan takdir dari hidupnya sendiri.

Seiring berjalannya waktu, negara ini benar-benar berdiri di bawah kaki sendiri. Menuju seperti yang hendak di capai. Kemiskinan berkurang drastis, mampu mencukupi kebutuhan hidup nya sendiri. Tidak ada kesenjangan yang menjulang tinggi, dan setiap orang kebagian dari adil nya hukum. Pada tiap tanggal 18 Agustus, mereka mengadakan upacara, diperingatinya sebagai hari kemerdekaannya. Juga tak lupa dilanjut dengan orasi kenegaraan. Rakyat telah bersepakat bahwa ketiga pemimpin revolusioner itulah yang menjadikan kehidupan mereka lebih makmur dan lebih dihargai sebagai manusia.

Squearel, Snowball dan Napoleon tak ingin menjalankan pemerintahannya secara otoriter, sehingga tiap satu bulan sekali, di tempat tertentu, mereka selalu mengadakan musyawarah dan membahas tiap permasalahan nya dengan melibatkan seluruh warga negara  Inathena.

Tahun berganti menjadi tahun, mereka menjalankan pemerintahaannya seperti itu. Dan selaiknya dalam suatu musyawarah, terdapat perbedaan adalah hal yang biasa. Snowball dan Napoleon beradu gagasan dan argumentasi. Namun tak seperti biasanya, perbedaan dasar dari keduanya tersebut lalu membawa perselisihan, hingga Napoleon yang waktu itu datang ke tempat musyawarah dengan membawa beberapa penjaga, untuk kemudian menangkap Snowball dan membawa nya untuk dipenjarakan. Rakyat pada saat itu tak ada yang berani untuk menyela kejadian tersebut, karena saking takutnya terhadap Napoleon beserta penjaganya.

Singkat cerita, Snowball dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup. Dan lambat laun, keadaan semakin parah dan berubah. Dengan berbagai kejadian, peraturan dasar pun diubah.
1. Semua manusia adalah saudara dan sama tinggi, kecuali bagi keluarga Kenegaraan. Derajatnya otomatis lebih tinggi.
2. Keadilan hukum. Dengan melihat sisi baik buruknya untuk semua.
3. Rakyat harus bekerja lebih keras.
Dan yang terakhir ia membawa konsep yang bernama Nawacita. Squearel sang propagandis, singkatnya mampu memberikan penjelasan dan keyakinan terhadap rakyat yang mempertanyakan perubahan tersebut. Dan menjamin bahwa semuanya malah akan berjalan lebih baik.

Bagi para rakyat, apa yang dikatakan Napoleon adalah suatu kebenaran. Dan semuanya pasti akan lebih baik. Kurang baik apa selain kebebasan dan mampu menentukan takdirnya sendiri. Itu yang ada di benak rakyatnya.

Tidak berselang lama kemudian, korupsi merajalela. Kedudukan manusia yang tadi nya sama tinggi, dan keadilan hukum hanya menjadi lip service, slogan belaka. Siapapun yang mencoba mengungkap praktek korupsi keluarga Napoleon dan Squearel dan kroni-kroni nya diburu hingga mampus. Dibunuh tanpa jejak. Baik dengan peraturan juga dengan nyawa.

Sejak saat itu, negeri tersebut kemudian menemui titik nadirnya. Dirasa-rasa, semuanya lebih sulit dan lebih menderita dibandingkan masa kediktatoran dulu. Negeri itu menuju kehancuran. Tiap kali ada rakyat mempertanyakan nasib nya, Squearel sebagai juru bicara istana, sang propagandis ulung akan menjejali nya dengan mimpi-mimpi yang disebut nawacita. Dan musyawarah yang biasa dilakukan tiap bulan dan melibatkan rakyat itu, kini dihapuskan. Dan tiap upacara kemerdekaan 18 Agustus kini ditambahkan dengan penghormatan secara khusus untuk yang mulia Napoleon sang pemimpin Inathena.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Buku tersebut selesai ku bacai. Namun aku masih berkutat pada pertanyaan yang sama. Jika benar, memang jika benar, manusia seharusnya selalu cenderung menuju pada yang hanif (jika ku tak salah baca). Dan dalam proses penciptaannya, manusia ditiupkan roh Tuhan. Berbekal kelebihan itu, aku kembali bertanya pada diriku sendiri. Bagaimana bisa.

Dan mungkin, rakyat di dunia Inathena itu, Negeri mimpi itu. Dengan bangga bertutur:

"Kita bertanya seolah-olah diluar sana ada alasan spesifik tentang kehidupan. Ini tidak terlalu rumit, tidak juga sederhana. Dan Vlissingen menjawabnya, ia yang diam dan tenang di permukaan, namun penuh kekacauan yang acak didalam. Tangis dan rasa takut akibat penindasan dimasa lalu akan tetap membekas di sisi-sisi jalanan hingga udara yang tenang di Vlissingen, tersirat dalam tatapan kososng orang-orang hingga debu-debu di patung Michiel de Ruyter, rasa itu tak pernah pergi. Bayangkan kita adalah Vlissingen, yang tetap dihantui masalalu meski kehidupan melangkah ke depa. Kita selalu mencari dan mencari, namun terkadang apa yang kita butuhkan hanyalah diam, atau duduk dan berpikir seraya menyadari bahwa dunia ini sedang berupaya menunjukan ketiadaan maknanya." (@Dissidence)

"Kita hanyalah gumpalan atom berjalan yang berharap menemukan sesuatu seperti individualitas, makna atau ilusi lain yang otak kita ciptakan - sayangnya kita hidup di alam semesta yang tidak bersahabat, sehingga apa yang kita dapat bukanlah sesuatu yang kita harapkan, melainkan inti dari semua itu sendiri; ketiadaan." (@Dissidence)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

George Orwell. 2016. Animal Farm. Bentang. Britania Raya.

@Dissidence

@randyradomski_

Share:

0 komentar

“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.”