Siapa mampu mengacuhkan senja.
Lengkap dengan debur ombak yang membisik mesra, pasir putih yang berkeredap
tercium semburat jingga senja, menyelimuti kaki-kaki kecil yang berjalan
menyusuri sepanjang bibir pantai. Angin pantai dengan bau amis nya membisikkan
kesenduan, dan karang-karang yang bersimfoni di hantam lembut nya ombak.
Senja yang sinarnya
kejingga-jinggaan, kemerah-merahan dan keemas-emasan menjadikan air laut
memantul berwarna keemasan. Senja yang sempurna.
Orang-orang bahkan harus rela
meninggalkan keluarga nya, suami meninggalkan istrinya, dan istri meninggalkan
suaminya sekadar untuk mengabadikan senja sempurna tersebut. Tidak, bukan
dengan menggunakan kamera, karena orang-orang takkan sempat, terlalu terpesona
pada satu senja.
Sepasang kekasih mengaitkan
jari-jemari sambil memadu kasih, dilihatnya senja itu sambil duduk-duduk di
bibir pantai. Diliatnya senja yang sempurna itu, hingga ia mulai turun, cahaya
nya yang merah membara, perlahan semakin redup, menyisakan siluet perahu
nelayan di kejauhan dan hilang ditelan cakrawala.
“Alina tercinta.”
“Bersama surat ini kukirimkan padamu
sepotong senja-dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya
keemasan.”
Dan cerita klasik itu pun dimulai.
Tentang kesenduan, romantisisme hingga lirisisme yang dibalut dengan embel-embel
cinta.
‘Senja yang kumaksud, adalah senja
dalam berbagai pendekatan dan konteks tetap berusaha saya capai kesenjaannya,
mulai dari gejala alam kasat mata, sampai segenap konstruksi struktural dan
tematik yang dimungkinkan oleh subjek bernama senja.’ Tulis Seno Gumira
Ajidarma dalam bukunya yang diberi judul dengan manisnya Sepotong Senja Untuk Pacarku.
Ia ingin menguraikan senja dengan
kompleksitas dan paradoksalnya melalui cerita-cerita yang terpisah satu sama
lain, membangun ceritanya sendiri-sendiri namun tetap terhubung dan saling
terkait, seperti potongan Pizza ia memaknainya.
Secara eksplisit, tentu berlebihan
jika sekedar melihat senja di representasikan hanya sekedar cerita cinta yang
sendu dan rayuan nafsu yang picisan.
Dalam trilogi Alina, khususnya pada
cerita Sepotong Senja untuk Pacarku,
dipertontonkan bagaimana keserakahan, dan kepongahan dari seorang Sukab, yang
hendak memiliki seutuhnya senja, dengan cara memotong nya, untuk kemudian ia
simpan dalam amplop. Ia ingin mengabadikan senja dengan gemerlap warna
keemasannya.
Namun dalam cerita Jawaban Alina, ia mengajarkan bahwa
keikhlasan untuk menerima Senja yang luber dari amplop, dengan segala bencana
yang ditimbulkannya. ‘Kupandang senja yang abadi sebelum melipat surat ini.
Betapapun semua ini terjadi karena cinta dan hanya karena cinta – betapa besar
bencana telah ditimbulkannya ketika kata-kata tak cukup menampungnya. Kutatap
senja itu, masih selalu begitu, seperti menjanjikan suatu perpisahan yang
sendu.
Selamat berpisah semuanya. Selamat
tinggal’.
Begitu pula sama halnya dengan cerita
Tukang Pos Dalam Amplop. Yang dengan ikhlasnya terjebak dalam dunia amplop yang
hanya berisikan senja yang abadi, kendatipun senja yang sempurna, dunia amplop,
dunia yang terpisah dari ruang dan waktu.
Di kota dimana pelangi tak pernau
memudar. Senja sedang turun. Di pantai yang landai, langit senja membentang
diatas pasir basah. Pasir begitu putih dan lembut seperti tepung, air laut yang
mendesah perlahan memantulkan segala-gala nya dari langit pantai bagaikan
sebuah cermin di senja hari yang cemerlang keemasan.
Ia mengajarkan keimanan, pada teguh
nya prinsip seorang peternak kunang-kunang mandarin, Keimanan Sukab pada apa
yang diyakini nya untuk bertahan terpekur memandangi agung nya senja di rumah tepi
pantainya, walau harus menerobos akar tradisi nya, dimana hanya ia dan rumahnya
lah yang menghadap langsung ke laut. Hingga demi satu keyakinannya, ia berlayar
mengejar Senja hanya bermodalkan perahu nelayan kecil dan keyakinan.
Senja tentunya telah turun di pulau
tanpa nama itu menjadikannya sebuah gundukan menghitam ketika permukaan laut
seperti puisi seperti permukaan agar-agar berwarna kelam yang terus menerus
bergerak perlahan dengan lembut dan memberi perasaan rawan. Betapa tidak akan
menjadi ketika langit menjadi gelap, menghitam dan muram? Hanya ada sedikit
mega disana dengan sisa-sisa cahaya yang sudah sangat terlalu remang dan meski
keremangan bukanlah kegelapan tetapi keremangan lebih memberi perasaan rawan
daripada kegelapan.
Aku memaknai cerita-cerita pada Atas Nama Senja yang terdiri dari
cerpen; Senja di Pulau Tanpa Nama, Perahu
Nelayan Melintas Cakrawala & Senja
di Kaca Spion sebagai metafor penantian yang sangat panjang dan melelahkan
dari riwayat manusia. Bukan hanya sekedar membawa kesakitan dan kesengsaraan
laiknya orang-orang berpendapat, juga ada penantian disitu, penantian akan
kebahagiaan.
Tentu, buku Sepotong Senja Untuk
Pacarku yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma ini, lewat pemaknaan ku, bisa
saja melenceng jauh dari apa yang penulis ingin sampaikan dengan senja nya,
dengan teks, konteks, keadaan alam dan paradoks nya. Tentu juga, pemaknaan yang
dibagi dalam alur besar yang saya simpulkan diatas jauh melebihi makna yang
terkandung didalamnya. Dan bukanlah sesuatu yang mutlak, karena Seno Gumira
Ajidarma dengan senja nya ini, menawarkan apa-apa saja yang ingin kita llihat,
dari perspektif apa-apa saja pula, kita bisa mengambil pembelajaran dari Senja.
Aku ingin mati, namun takut terluka. Aku ingin tetap hidup, namun
takut menua. Aku mendamba suka, namun menolak duka. Mungkin aku harus
sedikit belajar kepada Nebula. Ia adalah debu, gas dan plasma. Ia yang
menjadi indah karena kematian sang bintang atau ledakan supernova.
Di luar sana, mereka bercerita perihal utopia, sementara yang
menyanggah di persimpangan jalan adalah sebuah distopia. Aku tersaruk
dalam mimpi, penderitaan dan realitas yang terluka, sialnya nembutal tak
legal di semua negara.
Aku menolak tragedi dan lari lebih jauh mencari makna, lupa bertanya,
sehingga apa yang aku lakukan hanyalah kembali mengukir narasi penuh
nestapa.
Dan di sana,
orang asing berdiri di belakang tawa bulan yang menembus sela kayu
dan kaca. Matanya membeku, setengah berkilau dan membuat keraguan lenyap
seiring rebah yang melahap ilusi dari kepala. Perlahan bibirnya
bergerak membuat suara, tegas dan menjebak laiknya bisikan Spinoza.
Aku tak ingin berhenti menyilam di tengah malam yang di hantui Kafka.
Aku kembali menoleh kepada si orang asing, ia masih berdiri dengan awan
gelap yang memeluk pundaknya. Aku coba memandangnya jauh lebih dalam,
agar tanya menemui muara.
Dan ternyata,
orang asing di hadapanku itu adalah diriku sendiri yang mati di tikam
cahaya. Tatapnya tajam menggores langit dan menaburkan melankolia. Lalu
aku memberanikan diri untuk bertanya, kepada orang asing yang ternyata
adalah aku juga. “Apa yang harus aku lakukan untuk menerima dunia?”
Ada darah berwarna gelap di bibir pucatnya, tangannya terayun lemah
sedikit lama. Ia menghembuskan nafasnya, tergagu ia menjawab, “O diriku
yang menyedihkan laiknya api dalam gereja, untuk menjadi utuh, kau tak
perlu Euthanasia.”
Dan yang terdengar di akhir hanya sayup-sayup frasa, kemudian ia
hilang bersama tangisan gagak yang mengetuk jendela. Kata-kata tadi
sedikit hiperbolis dan tanpa ada kaitan dengan fisiologis nyata, namun,
aku akan ingat itu sebagai alasan mengapa aku tetap bernafas di ujung
semesta tanpa makna.
Apa yang aku lakukan selanjutnya adalah mengumpulkan ingatan dengan
berkelana, mengeja hiraeth meski aku bukanlah Wales yang tenggelam dalam
bahasa.
***
@randyradomski_ // 10 Juni 2017 – Bumi
Sebelum tidur, ketika aku masih sering mempertanyakan segala hal, dan ingin menamai dunia, termasuk yang Ada, kedua orang tuaku selalu menceritakan dongeng penghantar tidur. Mereka bilang supaya tidur ku nanti, di datangi mimpi-mimpi indah, juga mereka membacakan doa, sembari aku ikut merapalkannya dalam sayup-sayup mataku yang ingin terpejam, kemudian terlelap. Sembari menyiratkan, supaya setan tak mampir di kamar kecilku. Begitu katanya.
Seringkali tentang latar dan tokoh wayang dari kitab Mahabharata, tentang kerajaan Hastinapura yang memamkmurkan negeri, tanah dan rakyat nya.
Lain kali, cerita tentang heroiknya Nabi Ibrahim dalam perlawanannya terhadap Raja Namrud. Atau kekuatan cinta dari Nabi Yusuf, yang mampu menaklukan hasrat dan nafsu nya dengan ketetapan iman.
Sering juga tentang Nabi Muhammad, yang membawa pesan perdamaian kepada seluruh jagat raya, selain misi utamanya sebagai penyempurna akhlak.
Belakangan dari buku cerita yang kubacai sendiri, yang aku dapat dari deretan rak buku, yang jadi perpustakaan kecil Papahku, tentang revolusi Prancis, negeri impian katanya. Dimana hak-hak manusia dihormati sepenuhnya disini. Tak peduli; kaya, miskin, hitam, putih, cokelat. Kemanusiaan dijunjung tinggi. Hukum ditegakkan. Liberte, Egalite, Fraternite; Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan.
Kesemuanya, memang benar betul, mampu menghantarkan mimpi indah, pada tiap malam mencekam sekalipun, walau dirundung hujan, petir bergeletar berkelebatan di luar dan angin memporak-porandakan pepohonan. Aku masih bisa tertidur lelap dengan mimpi indah, hingga keesokan harinya aku baru menyadari, ketika aku perlahan melangkahkan kaki ku keluar rumah, aku mendapati beberapa pohon yang kata nenek ku entah berusia 100 tahun lebih, tumbang dan menutupi jalanan. Hingga orang-orang di desa ku harus disibukkan untuk kerja bakti menyingkirkan tumbangan pohon tersebut dari jalanan.
Namun, benar pula apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer; lebih kurang; 'Hidup itu seimbang, tuan. Barangsiapa hanya memandang keceriannya saja, ia gila. Barangsiapa hanya memandang pada penderitaannya saja, ia sakit.' Bak seseorang yang hendak menyusuri perjalanan yang jauh, ia menunggu di stasiun kereta. Lalu cepat maupun lambat setelah tiket dicocokkan dengan identitas penumpang, dan kereta pun akan berderap-derap lalu berhenti dan menampung orang-orang yang hendak pergi tersebut. Begitupula dengan mimpi ku, belakangan, akhirnya kudapati sering bermimpi buruk. Apa hal aku tak begitu tahu. Seingatku, aku selalu merapalkan doa sebelum tidur, tidak peduli mata ku benar-benar lelah.
Seingatku, aku baru menemukan buku di pojok kanan baris ketiga dari rak papahku, dan tengah membacainya. Buku tersebut sebagian besar menceritakan tentang suatu negeri, yang kaya akan sumber daya. Buku tersebut diawali dengan kalimat yang cukup aneh bagi bocah yang masih berumur belasan tahun sepertiku.
"Bukan lautan hanya kolam susu... Kail dan jala cukup menghidupmu.... Tiada badai tiada topan kau temui... Ikan dan udang menghampiri dirimu... Orang bilang tanah kita tanah surga... Tongkat kayu dan batu jadi tanaman... Orang bilang tanah kita tanah surga... Tongkah kayu dan batu jadi tanaman"
Diceritakan negeri itu bernama Inathena. Sedikit banyak, mengadopsi cerita dari buku Animal Farm nya George Orwell. Begitu kaya nya negeri tersebut, namun naas nian nasib rakyat nya, yang harus dipimpin oleh pemimpin diktator haus darah. Keadaan itu berlangsung hingga tahun-tahun berikutnya, hingga pandangan rakyatnya tertutup, entah kemana ujungnya.
Hingga suatu ketika, ada tiga orang pemuda. Bernama Snowball, Napoleon dan Squealer. Singkatnya, ketiga pemuda tersebut benar-benar muak dengan keadaan itu yang semakin hari semakin mencekik erat leher nya. Ketiga pemuda tersebut bak dilahirkan langsung oleh keturunan-keturunan dewa Oedipus sehingga dikaruniai bakat dan kemampuan khusus. Napoleon seorang pemikir dan orator ulung, Snowball seorang intelektual, konseptor dan moralis, dan Squaler seorang propagandis yang kelak dengan kata-kata nya, ia mampu menaklukan seekor singa nemesis.
Mereka bertiga para pemimpin revolusioner, bersama-sama menyusun taktik, rencana dan strategi untuk terciptanya sebuah revolusi. Singkat cerita, revolusi pecah, dan Snowball, Napoleon dan Squealer dengan menghimpun kekuatan bersama rakyat Inathena mereka berhasil menggulingkan si penguasa diktator. Dengan mempertaruhkan darah, nyawa, harta.
Hari baru menyongsong, dengan diawali matahari yang terbit dari timur. Begitu cerianya matahari pagi itu, disusul dengan senyum yang tak kalah cerah dari rakyat-rakyat Inathena. Dalam pada masa transisi itu, rakyat secara langsung meminta Snowball, Napoleon dan Squealer untuk memimpin menjemput takdir-takdir nya di masa mendatang.
Ada garis-garis besar haluan yang menjadi fondasi pada berdirinya negeri Inathena yang baru. Mungkin lebih mirip dengan sistem sosialisme.
1. Semua manusia adalah saudara dan sama tinggi.
2. Keadilan hukum.
3. Kemakmuran rakyat.
Bahwa, pada masa awal-awal keberjalanannya, terdapat banyak rintangan dan hambatan yang diluar ekspektasi. Pada nyatanya, rakyat malah dibuat lebih menderita dibandingkan masa si diktator. Namun semuanya tidak ada yang mengeluh. Karena mereka berpikir, tidaklah ada sesuatu yang lebih berharga daripada kebebasan dan mampu menentukan takdir dari hidupnya sendiri.
Seiring berjalannya waktu, negara ini benar-benar berdiri di bawah kaki sendiri. Menuju seperti yang hendak di capai. Kemiskinan berkurang drastis, mampu mencukupi kebutuhan hidup nya sendiri. Tidak ada kesenjangan yang menjulang tinggi, dan setiap orang kebagian dari adil nya hukum. Pada tiap tanggal 18 Agustus, mereka mengadakan upacara, diperingatinya sebagai hari kemerdekaannya. Juga tak lupa dilanjut dengan orasi kenegaraan. Rakyat telah bersepakat bahwa ketiga pemimpin revolusioner itulah yang menjadikan kehidupan mereka lebih makmur dan lebih dihargai sebagai manusia.
Squearel, Snowball dan Napoleon tak ingin menjalankan pemerintahannya secara otoriter, sehingga tiap satu bulan sekali, di tempat tertentu, mereka selalu mengadakan musyawarah dan membahas tiap permasalahan nya dengan melibatkan seluruh warga negara Inathena.
Tahun berganti menjadi tahun, mereka menjalankan pemerintahaannya seperti itu. Dan selaiknya dalam suatu musyawarah, terdapat perbedaan adalah hal yang biasa. Snowball dan Napoleon beradu gagasan dan argumentasi. Namun tak seperti biasanya, perbedaan dasar dari keduanya tersebut lalu membawa perselisihan, hingga Napoleon yang waktu itu datang ke tempat musyawarah dengan membawa beberapa penjaga, untuk kemudian menangkap Snowball dan membawa nya untuk dipenjarakan. Rakyat pada saat itu tak ada yang berani untuk menyela kejadian tersebut, karena saking takutnya terhadap Napoleon beserta penjaganya.
Singkat cerita, Snowball dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup. Dan lambat laun, keadaan semakin parah dan berubah. Dengan berbagai kejadian, peraturan dasar pun diubah.
1. Semua manusia adalah saudara dan sama tinggi, kecuali bagi keluarga Kenegaraan. Derajatnya otomatis lebih tinggi.
2. Keadilan hukum. Dengan melihat sisi baik buruknya untuk semua.
3. Rakyat harus bekerja lebih keras.
Dan yang terakhir ia membawa konsep yang bernama Nawacita. Squearel sang propagandis, singkatnya mampu memberikan penjelasan dan keyakinan terhadap rakyat yang mempertanyakan perubahan tersebut. Dan menjamin bahwa semuanya malah akan berjalan lebih baik.
Bagi para rakyat, apa yang dikatakan Napoleon adalah suatu kebenaran. Dan semuanya pasti akan lebih baik. Kurang baik apa selain kebebasan dan mampu menentukan takdirnya sendiri. Itu yang ada di benak rakyatnya.
Tidak berselang lama kemudian, korupsi merajalela. Kedudukan manusia yang tadi nya sama tinggi, dan keadilan hukum hanya menjadi lip service, slogan belaka. Siapapun yang mencoba mengungkap praktek korupsi keluarga Napoleon dan Squearel dan kroni-kroni nya diburu hingga mampus. Dibunuh tanpa jejak. Baik dengan peraturan juga dengan nyawa.
Sejak saat itu, negeri tersebut kemudian menemui titik nadirnya. Dirasa-rasa, semuanya lebih sulit dan lebih menderita dibandingkan masa kediktatoran dulu. Negeri itu menuju kehancuran. Tiap kali ada rakyat mempertanyakan nasib nya, Squearel sebagai juru bicara istana, sang propagandis ulung akan menjejali nya dengan mimpi-mimpi yang disebut nawacita. Dan musyawarah yang biasa dilakukan tiap bulan dan melibatkan rakyat itu, kini dihapuskan. Dan tiap upacara kemerdekaan 18 Agustus kini ditambahkan dengan penghormatan secara khusus untuk yang mulia Napoleon sang pemimpin Inathena.
Buku tersebut selesai ku bacai. Namun aku masih berkutat pada pertanyaan yang sama. Jika benar, memang jika benar, manusia seharusnya selalu cenderung menuju pada yang hanif (jika ku tak salah baca). Dan dalam proses penciptaannya, manusia ditiupkan roh Tuhan. Berbekal kelebihan itu, aku kembali bertanya pada diriku sendiri. Bagaimana bisa.
Dan mungkin, rakyat di dunia Inathena itu, Negeri mimpi itu. Dengan bangga bertutur:
"Kita bertanya seolah-olah diluar sana ada alasan spesifik tentang kehidupan. Ini tidak terlalu rumit, tidak juga sederhana. Dan Vlissingen menjawabnya, ia yang diam dan tenang di permukaan, namun penuh kekacauan yang acak didalam. Tangis dan rasa takut akibat penindasan dimasa lalu akan tetap membekas di sisi-sisi jalanan hingga udara yang tenang di Vlissingen, tersirat dalam tatapan kososng orang-orang hingga debu-debu di patung Michiel de Ruyter, rasa itu tak pernah pergi. Bayangkan kita adalah Vlissingen, yang tetap dihantui masalalu meski kehidupan melangkah ke depa. Kita selalu mencari dan mencari, namun terkadang apa yang kita butuhkan hanyalah diam, atau duduk dan berpikir seraya menyadari bahwa dunia ini sedang berupaya menunjukan ketiadaan maknanya." (@Dissidence)
"Kita hanyalah gumpalan atom berjalan yang berharap menemukan sesuatu seperti individualitas, makna atau ilusi lain yang otak kita ciptakan - sayangnya kita hidup di alam semesta yang tidak bersahabat, sehingga apa yang kita dapat bukanlah sesuatu yang kita harapkan, melainkan inti dari semua itu sendiri; ketiadaan." (@Dissidence)
George Orwell. 2016. Animal Farm. Bentang. Britania Raya.
@Dissidence
@randyradomski_
Mungkin beberapa dari Bung & Nona, pernah (setidaknya) melihat sekali dari cuplikan video diatas. Video tersebut adalah konten video dari pengguna youtuber bernama Prince ea dan berjudul 'The People vs The School System.'
Dengan berlatarkan pengadilan, gugatan tersebut dibuka dengan prolog:
...Albert Einstein pernah mengatakan, setiap orang itu jenius... tapi jika menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka itu akan membuatnya merasa bodoh seumur hidupnya. Terdakwa (sekolah) tidak hanya memaksa ikan memanjat pohon tapi juga membuat mereka turun kebawah... dan lari sejauh sepuluh mil.
Analogi yang sederhana saya kira, namun cukup mengusik logika. Tidakkah hampir sekolah-sekolah di Indonesia menerapkan analogi tersebut pada siswanya? Setidaknya, setiap siswa harus mahir dalam menguasai ilmu mata pelajaran yang telah ditetapkan oleh kurikulum. Setidaknya, setiap siswa yang ingin mencapai predikat lulus, harus menguasai mata pelajaran yang diuji nasional-kan. Dengan dalih untuk dijadikan sebagai pemetaan mutu program pendidikan dan atau satuan pendidikan. Kembali seperti Albert Einstein katakan bahwa, setiap orang adalah jenius. Namun di bidang-nya masing-masing. Kita tidak mungkin menetapkan parameter yang sama dengan sesuatu yang disebut kurikulum, untuk mengukur otak dan kemampuan manusia yang satu dengan yang lainnya.
Jadi tolong jelaskan kenapa sekolah memperlakukan para murid seperti cetakan potongan kue atau kancing belakang topi. Memberi mereka omong kosong 'satu ukuran untuk semua.' Jika dokter menuliskan resep yang sama kepada semua pasiennya, hasilnya pasti TRAGIS. Begitu banyak orang akan sakit. Namun jika itu terjadi di sekolah dan itulah yang sebenarnya terjadi, maka ini adalah malpraktek pendidikan.
Pointnya adalah
Ketika satu orang guru berdiri di depan 20 anak, setiap anak mempunyai... kekuatan yang berbeda, kebutuhan yang berbeda, bakat berbeda, mimpi berbeda, dan guru mengajarkan hal yang sama dengan cara yang sama?
Dan disini
Lihat, guru adalah pahlawan yang sering disalahkan, tapi guru bukanlah masalahnya. GURU BEKERJA DALAM SISTEM TANPA BANYAK PILIHAN ATAU HAK. KURIKULUM DIBUAT OLEH PEMBUAT KEBIJAKAN.
Dan untuk lebih jelasnya silahkan dipahami dan di sadari betul-betul konten video tersebut. Saya pikir, jenjang pendidikan yang satu dengan yang lainnya adalah satu sistem yang saling berjalin-kelindan untuk membuat suatu pola. Dan pada akhirnya, seseorang yang telah sampai pada tahap perkuliahan pun akan tetap sama tak tersadarkan dibuat tidur oleh sistem tersebut. Saya tidak mengatakan bahwa pendidikan itu tidak penting. Saking pentingnya pendidikan, Indonesia pun mampu merdeka selain dengan keringat dan darah juga karena politik etik yang dilakukan oleh Belanda. Berkat orang-orang terdidik itulah Indonesia mampu mengusir para kolonial dan menentukan sendiri arah bangsanya.
Dan
kata-kata Tuan Mr.K. Terus juga mengusik kesadaranku. Pribumi
terpelajar! Mereka akan jadi musuh lestari kekuatan Hindia Belanda!
Kekuasaan kolonial ini mencemburui kaum terpelajar Pribumi! Bukan satu
kebetulan Gubermen menjual ilmu pengetahuan semahal mungkin pada
Pribumi. Ilmu pengetahuan bisa membawa orang-orang sederhana dan
primitif ke dunia angan-angan yang tak bisa diukur meteran
ketinggiannya. Maka logikannya setiap terpelajar Pribumi harus dibikin
berpihak pada Gubermen, gaji baik, kedudukan baik, segala macam
kehormatan yang tidak kurang pula baiknya.
-Rumah Kaca, hal. 90-
Kampus Saat Ini
Coba lihat di kampus-kampus sekarang. Diskursus yang berkembang adalah PTN-BH (bagi negeri) dan menuju World Class University. Dengan dalih tujuan untuk bersaing dengan terpelajar Eropa. Oh... perlu dicatat barangkali saya hampir lupa, dikelas-kelas pun dosen seringkali mengatakan. 'Jangan jadi mahasiswa yang biasa, jadilah mahasiswa yang rajin biar IPK tinggi. Dapat pekerjaan yang baik dan gaji yang baik, mampu bersaing dengan pelajar asing. Apalagi kita sedang menghadapi MEA.'
Terdengar tidak ada yang salah memang, semua yg dikatakan masuk akal. Namun, apakah hakikat dari pendidikan hanya untuk mengejar pekerjaan dan gaji yang baik? Apakah yakin, kita tidak terjebak pada kesadaran palsu, yang dibuat oleh para penindas yang tidak bukan adalah para pembuat kurikulum, untuk melanggengkan kekuasaannya barang 50-100 tahun mendatang?
Menyoal diskursus tentang PTN-BH dan World Class Uiversity, yang merupakan produk neo-liberal yang kini tangan-tangan nya telah menjamah dunia pendidikan, dengan disahkan nya secara yuridis peraturan yang terkonstelasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Sederhananya, dengan diberlakukannya peraturan tersebut, universitas bisa dengan leluasa (dan mungkin harus) melakukan privatisasi dan komersialisasi kampus. Ini cukup bermasalah, ketika kampus yang dikenal sebagai institusi
pendidikan yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, harus berbagi
tempat dengan para kapitalis yang ingin membangun pasarnya dalam kampus.
Alhasil kampus menjadi lahan bisnis yang sangat subur untuk mengeruk
kekayaan bagi para kapitalis.
KAMPUS, idealnya, merupakan tempat berkembangnya segala bentuk
pengetahuan. Diskusi-diskusi kecil di sudut kampus, di dalam ruang
kuliah, bahkan di kantin menjadi tempat dimana gagasan diadu dan terus
dikembangkan. Iklim yang penuh khasanah intelektual tersebut menjadi
fenomena yang tak terlepas dari semua unsur yang hidup dan beraktivitas
di dalam kampus. Di sana ada mahasiswa, dosen, birokrasi kampus dan
beberapa orang yang menggantungkan hidupnya sebagai pegawai atau
pekerja. Dalam perspektif konstruktivisme, proses transaksi ide-ide
perubahan dan gagasan yang revolusioner dari mahasiswa terbentuk dari
interaksinya dengan semua elemen yang ada di dalam kampus.
Barangkali dari Bung & Nona agak lupa mungkin, saya perlu mengingatkan bahwa Tri Dharma Perguruan Tinggi berisikan; Pendidikan, Penelitian dan PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT. Ketiga-tiga nya adalah unsur yang saling berjalin-kelindan dan mempengaruhi satu sama lain, tidak ter-dikotomi-kan.
Saya kembali akan mengutip video diatas:
Anda dibuat untuk melatih siswa bisa bekerja di pabrik. Inilah kenapa kalian mendudukan siswa dalam barisan teratur. Tenang dan diam, bilang. "angkat tangan jika ingin bicara, beri waktu istirahat sejenak untuk makan dan 8 jan selanjutnya mendikte cara mereka berfikir, memaksa mereka berkompetisi untuk dapat nilai 'A'. Sebuah huruf yang menentukan kualitas produk mirip dengan kualitas daging dagangan .
Saya kira, sistem seperti inipun tidak hanya diberlakukan di lingkungan sekolah, melainkan di lingkungan kampus sekalipun. Tragis.
Bagaimana ruang-ruang publik kampus kini dihiasi dengan obrolan sekitar budaya konsumerisme, anti terhadap gagasan ke-Indonesiaan dan Kebangsaan. Membicarakan keinginan dan gagasan adalah dikatakan berlebihan dan idealis. Dalam teori ruang publik Jurgen Habermas, menjelaskan konsep ruang publik sebagai ruang yang mandiri dan terpisah dari negara dan pasar. Ruang publik memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses untuk menjadi pengusung opini publik. Dari teori tersebut, dimana kampus sebagai kawah candradimuka, yang merupakan representasi dari suatu negara juga sebagai tempat trial and error harusnya mampu memanfaatkan ruang-ruang publik tersebut seperti kantin dan taman, sebagai ruang diskusi, dalektika dan dialogika yang terlepas dari kepentingan. Yah... walaupun ketika kita berbicara tentang Derrida dengan Dekonstruksi nya, meng-kritik bahwa teori tersebut tidak akan terealisasi, karena tidak mungkin, dalam suatu kumpulan manusia yang berupa ruang publik tersebut mencapai satu kesepakatan dan tidak mungkin tidak terikat dengan kepentingan. Konsep tersebut adalah utopis. Namun, bukankah kampus adalah tempat trial and error.
Konsep Pendidikan Gaya Bank
Sebenarnya, gagasan yang disampaikan dalam video, mengenai sistem pendidikan yang seperti pabrik (dan realita nya juga lulusan sarjana juga kebanyakan akan ditempatkan di pabrik), jauh-jauh hari, Paulo Freire telah menyinggung konsep serupa dengan konsep pendidikan gaya bank.
Suatu analisis yang cermat tentang hubungan antara guru-murid pada semua tingkatan, baik di dalam maupun di luar sekolah, mengungkapkan watak bercerita (narrative) yang mendasar didalamnya hubungan ini melibatkan seorang subyek yang bercerita (guru) dan obyek-obyek yang patuh dan mendengarkan (murid). Isi pelajaran yang diceritakan, baik yang menyangkut nilai-nilai maupun segi-segi empiris dari realitas, dari proses cerita cenderung menjadi kaku dan tidak hidup. Pendidikan menderita penyakit semacam itu.
Pendidikan bercerita dengan guru sebagai pencerita mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Lebih buruk lagi, murid diubah nya menjadi "bejana-bejana", wadah-wadah kosong yang siap diisi oleh guru. Semakin penuh dia mengisi wadah-wadah itu, semakin baik pula seorang guru. Semakin patuh wadah-wadah itu untuk diisi semakin baik pula mereka sebagai murid.
Pendidikan karena nya menjadi sebuah kegiatan menabung dimana para murid adalah celengan dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan "mengisi tabungan" yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan "gaya bank", di mana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan. Memang benar, mereka mempunyai kesempatan untuk menjadi pengumpul dan pencatat barang-barang simpanan. Namun, pada akhirnya manusia sendiri lah yang disimpan karena miskinnya daya cipta, daya ubah dan pengetahuan, dalam sistem pendidikan yang dalam keadaan terbaik pun masih salah arah ini. Padahal tanpa usaha mencari, tanpa praksis, manusia tidak akan menjadi benar-benar manusiawi. Pengetahuan hanya lahir melalui usaha penemuan dan penemuan ulang, melalui pencarian manusia yang gelisah, tidak sabar, terus menerus dan penuh harapan di dunia, dengan dunia dan bersama orang lain.
Pendidikan gaya bank memelihara dan bahkan mempertajam kontradiksi itu melalui cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan sebagai berikut, yang mencerminkan suatu keadaan masyarakat tertindas secara keseluruhan:
1. Guru mengajar, murid diajar.
2. Guru mengetahui segala sesuatu, tapi murid tidak tahu apa-apa.
3. Guru berfikir, murid dipikirkan.
4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan.
5. Guru menentukan peraturan, murid diatur.
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, Murid menuyetujui.
7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
9. Guru mencampur-adukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang dia lakukan untuk menghalangi kebebasan muridnya.
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.
Tidaklah mengherankan jika konsep pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur. Semakin banyak murid menyimpan tabungan yang dititpkan kepada mereka, semakin kurang mengembangkan kesadaran mereka, semakin kurang mengembangkan kesadaran kritis yang dapat mereka peroleh dari keterlibatan di dunia sebagai pengubah dunia tersebut. Semakin penuh mereka menerima peran pasif yang disodorkan kepada dirinya, mereka semakin cenderung menyesuaikan diri dengan dunia menurut apa adanya serta pandangan terhadap realitas terpotong-potong sebagaimana yang ditanamkan kepada diri mereka.
Pendidikan bergaya pegawai bank ini tidak menyadari bahwa tidak ada ketentraman sejati dalam peranannya yang berlebihan itu, bahwa orang harus berusaha hidup bersama dengan orang lain dalam solidaritas. Orang tidak dapat mencari menangnya senidri, atau bahkan sekedar ada-bersama (co-exist) dengan murid-muridnya. Solidaritas menuntut adanya komunikasi sejati, dan konsep gaya bank yang mengarahkan pendidik seperti itu senantiasa takut dan menjauhi komunikasi.
Gagasan Praksis
Paulo Freire, menawarkan gagasan praksis "problem-posing education" atau pendidikan hadap masalah yang menjawab hakikat kesadaran -yakni intensionalitas-akan menolak pernyataan-pernyataan serta mewujudkan komunikasi. Konsep ini mewakili sifat khas dari kesadaran: yakni sadar akan, tidak saja terhadap objek-objek tetapi juga berbalik kepada dirinya sendiri, sehingga "terbelah" dalam pengertian Jaspers - yakni, kesadaran sebagai kesadaran atas kesadaran.
Pendidikan yang membebaskan berisi laku-laku pemahaman, bukannya pengalihan-pengalihan informasi. Dia merupakan sebuah situasi belajar dimana obyek yang dapat dipahami (sama sekali bukan titik akhir dari laku pemahaman) menghubungkan para pelaku pemahaman -guru disatu sisi dan murid disisi lain. Oleh karena itu pelaksanaan pendidikan hadap-masalah ini pertama kali menuntut adanya pemecahan masalah kontradiksi antara guru dan murid. Hubungan dialogis- yang harus ada pada para pelaku pemahaman untuk bersama-sama mengamati objek yang sama -tidak dapat diwujudkan dengan cara yang lain.
Sesungguhnya, pendidikan hadap masalah yang menolak pola hubungan vertikal dalam pendidikan gaya bank, dapat memenuhi fungsinya sebagai praktek kebebasan hanya jika dia dapat mengatasi kontradiksi-kontradiksi diatas. Melalui dialog, guru-nya-murid serta murid-nya-guru tidak ada lagi dan muncul suasana baru: guru-yang-murid dengan murid-yang-guru. Guru tidak lagi menjadi orang yang-mengajar, tetapi orang yang mengajar dirinya melalui dialog dengan para murid, yang pada gilirannya disamping diajar mereka juga mengajar. Mereka semua bertanggung jawab terhadap suatu proses tempat mereka tumbuh dan berkembang. Dalam proses ini pendapat-pendapat yang didasarkan pada: wewenang tidak berlaku lagi, agar dapat berfungsi, wewenang harus berpihak kepada kebebasan, bukan menentang kebebasan. Disini tidak ada orang mengajar orang lain, atau orang yang mengajar dirinya sendiri. Manusia saling mengajar satu sama lain, ditengahi oleh dunia, oleh obyek-obyek yang dapat diamati yang dalam pendidikan gaya bank: dimiliki oleh guru semata.
Pada intinya, fitrah ontologis dari seorang manusia adalah kebebasan atau kemerdekaan. Pendidikan hadap-masalah adalah gagasan praksis tentang bagaimana memanusiakan-manusia dalam ranah pendidikan. Memandang manusia murid, mahasiswa sebagai subyek, atau manusia secara utuh, bukan sebagai objek, dengan kata lain sebagai benda. Pendidikan hadap-masalah adalah suatu proses untuk memanusiakan manusia.
Sementara itu teori dan praktik pendidikan gaya bank mengabdi kepada kepada tujuan-tujuan penindasan tersebut diatas dengan cara yang sungguh efisien. Pelajaran-pelajaran yang verbalistik, bahan bacaan yang telah ditentukan, metode-metode untuk menilai "ilmu pengetahuan", jarak antara guru dan murid, ukuran-ukuran bagi kenaikan kelas; segala sesuatu dalam pendekatan siap-pakai ini melumpuhkan pikiran.
Perlu ditekankan sekali lagi bahwa, guru (satu pemahaman dalam blog ini dengan dosen) tidaklah sepenuhnya salah. Karena seperti yang sudah dijelaskan, bahwa mereka terbentur dengan hak dan kewajiban yang terbatas, ditambah lagi dengan limitasi dan tuntutan dari kurikulum, untuk melanggengkan kekuasaan para kaum penindas.
Namun yang kemudian menjadi persoalan dan berbahaya adalah, ketika para guru (dan guru besar) telah menginternalisasi nilai-nilai yang dibawa oleh para penindas dengan sistem bank nya, dan kemudian, para guru ini tidak sadar jika mereka telah terintegrasi dalam satu sistem yang melumpuhkan pikiran tersebut.
Pendidik adalah pekerjaan yang paling penting di muka bumi, tetapi mereka digaji rendah? Tidak heran banyak siswa bersikap tidak jujur. Mari kita jujur, pendidik harus memiliki pendapatan yang sama dengan dokter, karena dokter bisa membedah jantung dan menyelamatkan jiwa anak, tetapi seorang pendidik hebat mampu menyentuh hati setiap anak dan membuatnya benar-benar hidup, pendidik adalah orang-orang yang sering disalahkan, tapi sebenarnya bukan mereka masalahnya. Mereka bekerja dalam sistem tanpa ada pilihan atau hak, kurikulum dibuat oleh pembuat kebijakan.
Pendidikan Hadap-Masalah/problem-posing education
Sebenarnya, gagasan praksis tentang pendidikan pernah ditawarkan oleh pendidik yang hebat sekelas Tan. Saya kira model gagasan nya adalah sama seperti model pendidikan hadap-masalah, namun lebih di spesifikasi dan disesuaikan dengan karakter dan budaya dari rakyat Indonesia. Dalam buku Tan, Sebuah Novel. Yang ditulis oleh Hendri Teja. Tan Malaka mengatakan:
Saat ini yang kita perlukan adalah pendidikan yang berbasiskan rakyat. Maksudku, sistem dan kurikulumnya mesti menentang habis-habisan pendidikan kolonial yang membebek pada kapitalisme. Pendidikan rakyat sejati mesti bertumpu pada tiga tujuan. Pertama, pendidikan keterampilan sebagai bekal untuk berkiprah dalam masyarakat kapitalis, seperti membaca, menulis, berhitung, ilmu alam, bahasa dan sebagainya. Kedua, pendidikan bergaul, berorganisasi dan berdemokrasi guna membentuk karakter pemuda Hindia yang tangguh, percaya diri dan penuh harga diri. Dan ketiga, pendidikan yang berorientasi cinta kepada rakyat melarat.
-Tan, Sebuah Novel. Hal. 215.
Di lain halaman, tepatnya di hlm 216, Tan menyambungnya:
Tapi, menurutku siapapun kita, apapun keadaan kita, kaya-miskin, putih-cokelat, Islam-Kristen, kita dilahirkan merdeka. Itulah martabat yang sesungguhnya. Kemerdekaan sebagai manusia.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Selalu ada yang tersisa, dan meski saya kini telah sampai di bagian akhir teks ini saya tidak dapat memastikan apakah saya dapat mengakhirinya. Derrida tidak mengizinkan saya mati disini. Saya harus memulai perjalanan saya selanjutnya. Meski anda, pembaca, menikam saya dan ingin saya mati agar anda bisa bebas bermain tafsir dan menulis kembali teks ini. Saya harus bangkit. Saya harus hidup kembali. Biarlah anda anggap saya hantu. Tak apa-apa. Saya memang ingin menghantu hidup diantara dua dunia: Kehadiran dan ketiadaan.
-Terinspirasi dari narasi Muhammad Al-Fayyadl dalam buku berjudul Derrida-
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bahan bacaan:
Hendri Teja. 2016. Tan: Sebuah Novel. Jakarta. Javanica.
Dan mungkin bagi yang sudah baca buku-bukunya Ki Hadjar Dewantara boleh (banget) berdiskusi di bawah, di kolom komentar.
1
Perempuan
Dalam Balutan Serupa Dewi
Sungguh, mungkin
teman-teman sebaya-ku akan menertawaiku jika mereka tau. Aku tengah menatap
lekat-lekat kaca itu. Aku tengah bermain liar dengan imaji-ku, menggusarkan
fokus ku dari tuan dosen yang ada didepan, yang sedari tadi membicarakan
perihal remisi dan hak-hak dari narapidana.
Mungkin memang
benar apa yang dikatakan teman-teman ku dulu, sewaktu aku masih SMA, kalau aku
memang sudah kehilangan akal sehat. Demi Tuhan! Aku kembali melihat-nya bermain
di taman bunga, yang sejauh mata memandang terhampar indah birunya bunga
nemophilla. Di ujung nun jauh disana, diantara jalan setapak itu, terdapat
kincir angin. Ia kulihat melebarkan rentang tangannya, seolah ia pun bagaikan
satu dari jutaan bunga itu. Rambut indah nya tergerai di antara keningnya.
Kali ini
ia tersenyum
Dan kedua bola
matanya memandangku
Aku yakin bunga
biru nemophilla itu kini tengah cemburu pada kecantikan perempuan itu. Dan pun,
pada tuan dan nona pembaca yang budiman, izinkanlah aku menceritakan perempuan
itu dengan penuh kerendahan hati. Perempuan berkulit putih, halus, bermata dan
berambut hitam legam, berparas mojang sunda. Jujur saja, semasa hidup, aku baru melihat pertama kali, kecantikan
perempuan yang lebih indah dari sekadar gambaran ataupun lukisan. Dengan tabik
dan penuh hormatku, Perempuan itu lebih cantik dari anggota kerajaan Inggris
sekalipun, Kate Middleton.
“Kulitnya halus
laksana beledu putih gading. Matanya gemilang seperti kejora. Tak bakal kuat
orang memandangnya terlalu lama. Sepasang alis melindungi sepasang kejora itu,
lebat seperti punggung bukit sana. Bentuk badannya idaman setiap pria. Maka
seluruh negeri sayang padanya. Suaranya lunak, memikat hati barangsiapa
mendengarnya. Kalau dia tersenyum, tergoncang iman setiap dan semua pria. Dan
kalau tertawa gigi putihnya tampak gemerlapan memberi pengharapan pada semua
pemuja.”
Tidakkah perempuan
itu seperti sudah dipupuk terlebih dahulu di dalam janin. Rupa langit wajah nya
bak di cipta dari lelehan lilin, yang setiap lekuk tubuh, indah mata serupa
kejora, sepasang alis laksana punggung bukit sebagai pelindungnya adalah
mahakarya Tuhan yang tiada bandingnya.
Aku yakin, para
dewa-dewa diatas sana bahkan dengan suka rela untuk menjadi pemuja kecantikan
nya. Pada suatu masa nanti, perempuan yang melebihi kecantikan Dewi-dewi ini
akan menyebabkan terjadi nya perang Baratayudha jilid 2. Benar tuan dan nona!
Aku takkan bermain-main dengan perkataanku.
Perempuan itu
bernama Dewi. Ia yang berupa manusia tapi dalam cantik balutan paras sang Dewi.
"Baiklah,
kuliah kita selesai. Sampai bertemu minggu depan. Dan jangan lupa untuk
mengumpulkan tugas besok!"
Dan tugas dari
Tuan Dosen tadi, seketika membuyarkan lamunanku.
Pada bayangan kaca
itu.
Dan pada perempuan
itu, Dewi.
(^O^)
Baiklah,
waktunya bangun…
Kamu tau
jika Dewi tak pernah dan takkan pernah ada. Ia hanya perempuan yang hidup dalam
imajinasi mu saja. Ia menari dan bernyanyi dalam puisi-puisi yang kau tulis, di
buku mu tiap kali kau membayangkannya. Dan oh! Mungkin ini efek karena aku
membaca buku Bumi Manusia, karya sastrawan terbesar Indonesia. Bung Pram. Dua
Tahun yang lalu. Sosok Annelies yang kemudian tergantikan oleh Dewi.
(^O^)
“Jak!”
“Abis
jam mata kuliah selesai, kita ke kantin yok! Gua traktir.” Teriak salah satu
teman kelas Hukum Pidana, ajaknya untuk makan di kantin.
Oh!
Dan aku hampir lupa. Barangkali aku tidak salah mengatakan, bahwa di setiap
novel yang aku baca, selalu diawali dengan perkenalan. Alangkah tak sopannya
aku. Walau begitu, bukan maksud hati berbuat seperti itu. Aku hanya tak suka
memamerkan diri sahaja. Aku bisa dikatakan seorang yang pemalu, karena ya, mungkin
aku seorang Jawa tulen. Baiklah sebentar, tapi apa hubungan sebenarnya antara
seorang keturunan jawa tulen dengan sifatnya yang pemalu. Tapi entahlah, yang
aku tahu dari mbah ku, malu itu sendiri sifat yang harus dipunyai oleh seorang
ksatria Jawa. Pun, walau aku tak pernah menganggap diri ku sebagai seorang
ksatria. Tapi bukankah dalam ajaran Islam pun dikatakan bahwa malu adalah
pertanda bahwa orang tersebut mempunyai iman.
Nama
saya Jaka. Jaka namun bukan Jaka Susilo, ah, karena penekanan nama terakhir aku
takut berafiliasi pada kubu politik tertentu. Apalagi, sudah hilang rasa
hormatku pada ia. Drama ‘Saya Prihatin’ saya kira rating nya cukup untuk
mengungguli drama The Legend Of The Blue Sea yang diperankan Lee Min Ho. Atau
baru-baru ini dokumen kasus pembunuhan Munir, yang hilang katanya, padahal saya
yakin di hilangkan. Katakanlah dihilangkan seperti Wijhi Tukul.
Singkatnya,
nama saya Jaka Pinurbo. Walau begitu, seperti yang saya tulis diatas, seorang
Jawa tulen seperti aku pun, suka sekali mantengin laptop, hingga berjam-jam
bahkan cuma sekedar nonton drama korea.
“Bu,
sego kucing, sama minumnya teh anget.”
“Badalah,
pantesan lu udah jomblo tiga kehidupan. Hidup mati hidup lagi mati lagi, terus
hidup lagi terus mati lagi dan sekarang hidup lagi lu tetep aja Jomblo.
Pesennya kaya gituan kok.” Kemudian si Salim ini tertawa puas. “Padahal nih ye,
lo liat disekeliling banyak cewe cakep.”
Oke.
Dalam kasus ini, mungkin si Salim benar kalau aku sudah jomblo selama tiga
kehidupan. Karena saking lamanya, maaf aku ralat. Karena saya belum pernah
sekali pun pacaran.
Tapi,
bisakah kita mengganti kata jomblo dengan single atau sendiri.
Doesn’t
matter right, cause it’s so rude. Meskipun, saya sendiri tidak terlalu
mempedulikan itu.
Aku
dan Salim duduk di kursi yang telah disediakan, dengan meja yang berbentuk
bundar dan terbuat dari kayu. Cukup mewah memang untuk ukuran sekelas kantin.
Dan tak pernah sedikitpun surut dari keramaian mahasiswa nya.
“Ini
nih, nongkrong tapi ga ngajak-ngajak.” Salah seorang temanku menepuk pundakku.
“Jadi, gimana projek buku mu? Udah sampai mana?”
“Projek
buku? Bisa dikatakan mangkrak lah.” Jawabku.
Sembari
menggeser kursi nya, teman ku ini kemudian duduk. Dan kembali aku hampir lupa
mengenalkan namanya. Indra.
“Mangkrak?
Mbok pikir Hambalang!” Dan tawa diantara kita bertiga pun pecah.
“Ga
tau, pada dasarnya, kaya lagi males aja sih nulis. Mungkin aku masuk tahap
bosan kali yah. Padahal editor kaya tiap hari nelfonin terus. Perhatiannya udah
melebihi kaya pacar aja.”
“Ehemm!”
Mereka berdua kompak berdehem.
“Oke,
aku tau. Ya aku memang harus nya ngga membandingkan perhatiannya editor sama
pacar. Ga pernah tau rasanya punya pacar og.” Gue menebak-nebak.
Beberapa
saat setelah kita ngobrol, barulah pesanan kita datang.
“Terus,
buku mu yang udah terbit itu gimana?” Tanya Indra.
“Tadi
sih, dari penerbit sendiri, bilangnya ini mau naik ke cetakan ke dua. Minggu
lalu sih bilangnya. Ya, dan aku sendiri udah menyetujui.”
“Wah
ini, selamat! Traktir kali yah.” Mereka berdua kompak. “Tapi kapan punya
pacar?”
“Nanti.
Kalau nggak hujan!” Jawaban gue nyeleneh. “Aku duluan yah. Ini kelas pajak
harus ngumpulin tugas nih.”
“Yang
ngampu siapa?” Tanya Salim
“Bapak
Adam Levine Kawe Super, versi tuanya Adam Levine gitu lah. Tau mesti.”
“Cah
ndlogok i. Hahaha” Dan pecah lah tawa diantara kita.
“Aku
udah tak bayarin ya. Untung-untung traktir karena cerpen ku di terbitin di
salah satu majalah aja.”
“Yang
sering aja Jak!” Tegas mereka.
~
Jam
satu lebih lima belas menit, aku menunggu di depan kelas. Tapi aku kira aku
sudah menunggu di depan kelas sedari tadi, dan rasa-rasanya hanya aku seorang
yang tengah menunggu. Apa jangan-jangan pindah jam kuliah atau kelas?
“Hei
penulis!”
Sontak
aku langsung mencari sumber suara.
“Nunggu
kelasnya Pak Adam Levine Kawe Super?” tanyanya. Dia adalah ketua kelas Hukum
Pajak.
Dan
dia seorang Perempuan.
Saya
ulangi.
Seorang
Perempuan.
“Hah?”
“Mau
ngumpulin tugas kan? Tugas nya dikumpulin di transit.” Jelasnya.
“Terima
kasih informasinya.”
Kemudian
ia berjalan. Menjauh. Dan…
“Hey!
Terima kasih.” Ucap ku agak keras, sembari mendekati nya.
Jujur
saja, dari duapuluh sks yang aku ambil, dimana dari dua puluh sks tersebut
terbagi menjadi delapan mata kuliah, dan aku harus masuk dalam delapan kelas
yang berbeda, hanya kelas hukum pajak yang setiap kali aku masuk, rasanya
sangat aneh. Aku rasa selalu salah tingkah. Disisi lain, kalau bisa semua mata
kuliah bila perlu hukum pajak semua. Dengan catatan tidak ada perubahan isi
kelas nya. Tapi pun bukan karena aku suka mata kuliahnya, malah cenderung
sulit, karena berhadapan dengan hitung-hitungan pajak juga, selain
memperhatikan unsur-unsur hukum nya tentunya, bukan juga karena Adam Levine
Kawe Super, tapi… baiklah, bagian ini aku kira tidak usah kuperjelas.
“Iya.
Aneh banget, lagi kenapa?”
“Ngga.”
“Yaudah
duluan ya.”
“Sebentar.”
“Kenapa?
Ada yang mau di bicarakan kah?”
“Eh…
Iya ada. Ngga.”
“Oke.
Duluan yah.”
“Sebentar.
Minggu depan pemilihan mas mbak duta kampus kan?” Tanya ku, memberanikan diri.
“Oh
iya, mau nonton kahh??” ledeknya. Ia sambil menyunggingkan bibir nya, terlihat
sedikit putih giginya.
Dan boom! Jantung ku serasa di ledakkan paksa. “Semoga menang, jadi mbak duta
kampus.”
“Tapi
nonton kan?” Tanyanya.
“Ah…
Aku kira ngga bisa, ada keperluan lain.” Jawab ku dengan gugup.
“Yah…”
“Duluan
ya, mau ngumpulin juga dulu di transit. Khawatir terlambat. Sampai ketemu
lagi.”
Aku
pun buru-buru pergi. Yah, itu hal yang paling masuk akal aku pikir. Daripada
mati mendadak karena jantung ku pecah. Kan masih muda, belum nikah lagi. Hash~