Intinya Belum Ada Judul



1
Perempuan Dalam Balutan Serupa Dewi


Sungguh, mungkin teman-teman sebaya-ku akan menertawaiku jika mereka tau. Aku tengah menatap lekat-lekat kaca itu. Aku tengah bermain liar dengan imaji-ku, menggusarkan fokus ku dari tuan dosen yang ada didepan, yang sedari tadi membicarakan perihal remisi dan hak-hak dari narapidana.

Mungkin memang benar apa yang dikatakan teman-teman ku dulu, sewaktu aku masih SMA, kalau aku memang sudah kehilangan akal sehat. Demi Tuhan! Aku kembali melihat-nya bermain di taman bunga, yang sejauh mata memandang terhampar indah birunya bunga nemophilla. Di ujung nun jauh disana, diantara jalan setapak itu, terdapat kincir angin. Ia kulihat melebarkan rentang tangannya, seolah ia pun bagaikan satu dari jutaan bunga itu. Rambut indah nya tergerai di antara keningnya.

 Kali ini ia tersenyum

Dan kedua bola matanya memandangku

Aku yakin bunga biru nemophilla itu kini tengah cemburu pada kecantikan perempuan itu. Dan pun, pada tuan dan nona pembaca yang budiman, izinkanlah aku menceritakan perempuan itu dengan penuh kerendahan hati. Perempuan berkulit putih, halus, bermata dan berambut hitam legam, berparas mojang sunda. Jujur saja, semasa hidup, aku baru melihat pertama kali, kecantikan perempuan yang lebih indah dari sekadar gambaran ataupun lukisan. Dengan tabik dan penuh hormatku, Perempuan itu lebih cantik dari anggota kerajaan Inggris sekalipun, Kate Middleton.

“Kulitnya halus laksana beledu putih gading. Matanya gemilang seperti kejora. Tak bakal kuat orang memandangnya terlalu lama. Sepasang alis melindungi sepasang kejora itu, lebat seperti punggung bukit sana. Bentuk badannya idaman setiap pria. Maka seluruh negeri sayang padanya. Suaranya lunak, memikat hati barangsiapa mendengarnya. Kalau dia tersenyum, tergoncang iman setiap dan semua pria. Dan kalau tertawa gigi putihnya tampak gemerlapan memberi pengharapan pada semua pemuja.”

Tidakkah perempuan itu seperti sudah dipupuk terlebih dahulu di dalam janin. Rupa langit wajah nya bak di cipta dari lelehan lilin, yang setiap lekuk tubuh, indah mata serupa kejora, sepasang alis laksana punggung bukit sebagai pelindungnya adalah mahakarya Tuhan yang tiada bandingnya.

Aku yakin, para dewa-dewa diatas sana bahkan dengan suka rela untuk menjadi pemuja kecantikan nya. Pada suatu masa nanti, perempuan yang melebihi kecantikan Dewi-dewi ini akan menyebabkan terjadi nya perang Baratayudha jilid 2. Benar tuan dan nona! Aku takkan bermain-main dengan perkataanku.

Perempuan itu bernama Dewi. Ia yang berupa manusia tapi dalam cantik balutan paras sang Dewi.

"Baiklah, kuliah kita selesai. Sampai bertemu minggu depan. Dan jangan lupa untuk mengumpulkan tugas besok!"

Dan tugas dari Tuan Dosen tadi, seketika membuyarkan lamunanku.

Pada bayangan kaca itu.

Dan pada perempuan itu, Dewi.

 (^O^)

Baiklah, waktunya bangun…
Kamu tau jika Dewi tak pernah dan takkan pernah ada. Ia hanya perempuan yang hidup dalam imajinasi mu saja. Ia menari dan bernyanyi dalam puisi-puisi yang kau tulis, di buku mu tiap kali kau membayangkannya. Dan oh! Mungkin ini efek karena aku membaca buku Bumi Manusia, karya sastrawan terbesar Indonesia. Bung Pram. Dua Tahun yang lalu. Sosok Annelies yang kemudian tergantikan oleh Dewi.

 (^O^)

“Jak!”

“Abis jam mata kuliah selesai, kita ke kantin yok! Gua traktir.” Teriak salah satu teman kelas Hukum Pidana, ajaknya untuk makan di kantin.

Oh! Dan aku hampir lupa. Barangkali aku tidak salah mengatakan, bahwa di setiap novel yang aku baca, selalu diawali dengan perkenalan. Alangkah tak sopannya aku. Walau begitu, bukan maksud hati berbuat seperti itu. Aku hanya tak suka memamerkan diri sahaja. Aku bisa dikatakan seorang yang pemalu, karena ya, mungkin aku seorang Jawa tulen. Baiklah sebentar, tapi apa hubungan sebenarnya antara seorang keturunan jawa tulen dengan sifatnya yang pemalu. Tapi entahlah, yang aku tahu dari mbah ku, malu itu sendiri sifat yang harus dipunyai oleh seorang ksatria Jawa. Pun, walau aku tak pernah menganggap diri ku sebagai seorang ksatria. Tapi bukankah dalam ajaran Islam pun dikatakan bahwa malu adalah pertanda bahwa orang tersebut mempunyai iman.

Nama saya Jaka. Jaka namun bukan Jaka Susilo, ah, karena penekanan nama terakhir aku takut berafiliasi pada kubu politik tertentu. Apalagi, sudah hilang rasa hormatku pada ia. Drama ‘Saya Prihatin’ saya kira rating nya cukup untuk mengungguli drama The Legend Of The Blue Sea yang diperankan Lee Min Ho. Atau baru-baru ini dokumen kasus pembunuhan Munir, yang hilang katanya, padahal saya yakin di hilangkan. Katakanlah dihilangkan seperti Wijhi Tukul.

Singkatnya, nama saya Jaka Pinurbo. Walau begitu, seperti yang saya tulis diatas, seorang Jawa tulen seperti aku pun, suka sekali mantengin laptop, hingga berjam-jam bahkan cuma sekedar nonton drama korea.

“Bu, sego kucing, sama minumnya teh anget.”

“Badalah, pantesan lu udah jomblo tiga kehidupan. Hidup mati hidup lagi mati lagi, terus hidup lagi terus mati lagi dan sekarang hidup lagi lu tetep aja Jomblo. Pesennya kaya gituan kok.” Kemudian si Salim ini tertawa puas. “Padahal nih ye, lo liat disekeliling banyak cewe cakep.”

Oke. Dalam kasus ini, mungkin si Salim benar kalau aku sudah jomblo selama tiga kehidupan. Karena saking lamanya, maaf aku ralat. Karena saya belum pernah sekali pun pacaran.

Tapi, bisakah kita mengganti kata jomblo dengan single atau sendiri.

Doesn’t matter right, cause it’s so rude. Meskipun, saya sendiri tidak terlalu mempedulikan itu.

Aku dan Salim duduk di kursi yang telah disediakan, dengan meja yang berbentuk bundar dan terbuat dari kayu. Cukup mewah memang untuk ukuran sekelas kantin. Dan tak pernah sedikitpun surut dari keramaian mahasiswa nya.

“Ini nih, nongkrong tapi ga ngajak-ngajak.” Salah seorang temanku menepuk pundakku. “Jadi, gimana projek buku mu? Udah sampai mana?”

“Projek buku? Bisa dikatakan mangkrak lah.” Jawabku.

Sembari menggeser kursi nya, teman ku ini kemudian duduk. Dan kembali aku hampir lupa mengenalkan namanya. Indra.

“Mangkrak? Mbok pikir Hambalang!” Dan tawa diantara kita bertiga pun pecah.

“Ga tau, pada dasarnya, kaya lagi males aja sih nulis. Mungkin aku masuk tahap bosan kali yah. Padahal editor kaya tiap hari nelfonin terus. Perhatiannya udah melebihi kaya pacar aja.”

“Ehemm!” Mereka berdua kompak berdehem.

“Oke, aku tau. Ya aku memang harus nya ngga membandingkan perhatiannya editor sama pacar. Ga pernah tau rasanya punya pacar og.” Gue menebak-nebak.

Beberapa saat setelah kita ngobrol, barulah pesanan kita datang.

“Terus, buku mu yang udah terbit itu gimana?” Tanya Indra.

“Tadi sih, dari penerbit sendiri, bilangnya ini mau naik ke cetakan ke dua. Minggu lalu sih bilangnya. Ya, dan aku sendiri udah menyetujui.”

“Wah ini, selamat! Traktir kali yah.” Mereka berdua kompak. “Tapi kapan punya pacar?”

“Nanti. Kalau nggak hujan!” Jawaban gue nyeleneh. “Aku duluan yah. Ini kelas pajak harus ngumpulin tugas nih.”

“Yang ngampu siapa?” Tanya Salim

“Bapak Adam Levine Kawe Super, versi tuanya Adam Levine gitu lah. Tau mesti.”

“Cah ndlogok i. Hahaha” Dan pecah lah tawa diantara kita.

“Aku udah tak bayarin ya. Untung-untung traktir karena cerpen ku di terbitin di salah satu majalah aja.”

“Yang sering aja Jak!” Tegas mereka.
~
Jam satu lebih lima belas menit, aku menunggu di depan kelas. Tapi aku kira aku sudah menunggu di depan kelas sedari tadi, dan rasa-rasanya hanya aku seorang yang tengah menunggu. Apa jangan-jangan pindah jam kuliah atau kelas?

“Hei penulis!”

Sontak aku langsung mencari sumber suara.
“Nunggu kelasnya Pak Adam Levine Kawe Super?” tanyanya. Dia adalah ketua kelas Hukum Pajak.
Dan dia seorang Perempuan.

Saya ulangi.

Seorang Perempuan.

“Hah?”

“Mau ngumpulin tugas kan? Tugas nya dikumpulin di transit.” Jelasnya.

“Terima kasih informasinya.”

Kemudian ia berjalan. Menjauh. Dan…

“Hey! Terima kasih.” Ucap ku agak keras, sembari mendekati nya.

Jujur saja, dari duapuluh sks yang aku ambil, dimana dari dua puluh sks tersebut terbagi menjadi delapan mata kuliah, dan aku harus masuk dalam delapan kelas yang berbeda, hanya kelas hukum pajak yang setiap kali aku masuk, rasanya sangat aneh. Aku rasa selalu salah tingkah. Disisi lain, kalau bisa semua mata kuliah bila perlu hukum pajak semua. Dengan catatan tidak ada perubahan isi kelas nya. Tapi pun bukan karena aku suka mata kuliahnya, malah cenderung sulit, karena berhadapan dengan hitung-hitungan pajak juga, selain memperhatikan unsur-unsur hukum nya tentunya, bukan juga karena Adam Levine Kawe Super, tapi… baiklah, bagian ini aku kira tidak usah kuperjelas.

“Iya. Aneh banget, lagi kenapa?”

“Ngga.”

“Yaudah duluan ya.”

“Sebentar.”

“Kenapa? Ada yang mau di bicarakan kah?”

“Eh… Iya ada. Ngga.”

“Oke. Duluan yah.”

“Sebentar. Minggu depan pemilihan mas mbak duta kampus kan?” Tanya ku, memberanikan diri.

“Oh iya, mau nonton kahh??” ledeknya. Ia sambil menyunggingkan bibir nya, terlihat sedikit putih giginya.

Dan boom! Jantung ku serasa di ledakkan paksa. “Semoga menang, jadi mbak duta kampus.”

“Tapi nonton kan?” Tanyanya.

“Ah… Aku kira ngga bisa, ada keperluan lain.” Jawab ku dengan gugup.

“Yah…”

“Duluan ya, mau ngumpulin juga dulu di transit. Khawatir terlambat. Sampai ketemu lagi.”
Aku pun buru-buru pergi. Yah, itu hal yang paling masuk akal aku pikir. Daripada mati mendadak karena jantung ku pecah. Kan masih muda, belum nikah lagi. Hash~


Dilanjutkan minggu depan...

Share:

11 komentar

  1. Perang Baratayudha jilid 2 semacam perang apa ya aku ko katro gini :(.

    Btw jalan ceritanya masih ngambang ini.
    Tapi kalo di tebak-tebak mah bakal happyy ending.
    Yoweslah ta tunggu episode selanjutnya, semangat ! jangan mati dulu !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baratayudha 2 emang ga ada. Coba aja cari dulu bro...

      Terkait itu, saya kira namanya juga novel ongoing, otomatis ngambang. Bakalan ga ngambang kalo seandainya udah jadi novel nya secara utuh.

      Hapus
  2. Ini bukannya udah pernah kamu post dulu mas, tapi yang ini versi tampahannya ya, perempuan bernama dewi itu ternyata hanya ada dalam imajinasimu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, soalnya sebenernya terlalu mepet waktu yang saya punya. Makanya, kalo tambahan itu saya buat di halaman blog yang lain, ceritanya akan terlihat lebih singkat. Makanya saya gabungin.

      Yakin amat mas itu wanita (cuma) khayalan. Tunggu surprise lanjutannya lah...

      Hapus
  3. sempet baper ngebaca tentang "dewi" eh ternyata cuman khayalan. tapi ini puisinya bagus benerlo, ku jdi terispirasi menyelipkan puisi ke setiap postku. dan kayaknya cerita tentang dewi itu sudah pernah kamu ceritakan.

    ku penasaran dengan lanjutan kehidupanmu di kampus, ku tunggu kontinuenya......hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alasannya kenapa saya post lagi dan ditambahkan sedikit itu sama kaya yg diatas mas.

      Dan ngomong-ngomong, ini bukan cerita asli loh. Hahahaha... Jadi gada kaitannya kehidupan saya di kampus dan cerita ini haha

      Hapus
  4. Seru bacanya hihihi..

    Saking lamanya nge-single, sampe bisa 'menghayal' si Dewi gitu ya.. Tapi ini fiksi kan? Atau?
    Kata-katanya enak di baca (terhanyutt)

    Penasaran sih sama si Jaka dan kehidupan asmaranya. Keep writing mas (:

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup, ini fiksi. Haha... Single tiga kehidupan itu yak haha...

      Oke...

      Hapus
  5. Pantesan kayak pernah baca. Ini edisi revisi to. Tetep keren. Lanjutkan! :D

    BalasHapus
  6. Pandangan pertama, awal gue berjumpa dengan tulisan ini, gue bilang dalam hati "Wah, panjang. Harus ekstra waktu untuk membaca."

    Tapi, setelah berniat membaca dengan seksama hati gue mulai bergetar. "Mungkinkah ini cinta?"

    Menarik bang ceritanya!!!

    BalasHapus

“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.”